Minggu, 18 Oktober 2015

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA RESISTENSI PERUBAHAN (POSITIF DAN NEGATIF)

Resistensi atau penolakan merupakan salah satu penyebab kurang berhasilnya perubahan yang direncanakan dalam organisasi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Maurer, bahwa "perlawanan membunuh perubahan", sementara Foote menggambarkan warna-warni resistensi sebagai "salah satu hal yang paling jahat, kanker kerja yang paling melemahkan (dan mengklaim bahwa) tidak ada seorang pembunuh yang lebih kuat, paradoks atau peluang yang sama yakni  kemauan untuk maju dan niat baik". Perubahan adalah hal sangat dibutuhkan dalam suatu organisasi untuk menyesuaikan dengan paradigma yang berkembang di tengah masyarakat. Pola pikir dan tingkat kepuasan masyarakat akan senantiasa berkembang, untuk itu sebuah organisasi yang berdiri di tengah-tengah masyarakat harus mengikuti perkembangan kebutuhan konsumen. Mind-set ataupun paradigma tentang perubahan seringkali lebih terapresiasi  ketika masih dalam tahap formulasi strategi, dan ketika ide itu diadopsi kemudian diimplementasikan, resistensi pun muncul bahkan meskipun ketika perubahan tersebut baru saja diusulkan.

Palmer dalam bukunya “Managing Organizational Change”, mengemukakan sejumlah faktor/alasan yang sering berkaitan dengan timbulnya resistensi/penolakan terhadap perubahan yang direncanakan dalam suatu organisasi. Resistensi atau penolakan sering berkaitan dengan  :

1.      Ketidaksukaan terhadap perubahan

Hal ini terdengar sangat umum dikatakan, bahwa hambatan utama yang dihadapi manajer dalam memperkenalkan perubahan adalah ketidaksukaan terhadap perubahan dan adanya penolakan. Orang yang mempunyai karakter menolak perubahan, dikategorikan sebagai ciri kepribadian yang stabil, cenderung untuk secara sukarela memasukkan perubahan dalam hidup mereka, dan ketika perubahan dikenakan pada mereka, mereka mungkin lebih mengalami reaksi emosional negatif seperti kecemasan, kemarahan dan ketakutan. Namun, bagi sebagian besar orang, hal tersebut adalah faktor-faktor kontekstual, yaitu karakteristik spesifik dari perubahan tertentu, yang menentukan bagaimana mereka bereaksi.
2.      Ketidaknyamanan pada ketidakpastian
Sebagai individu, manusia cenderung bervariasi dalam hal ukuran kenyamanan. Sebagai contoh, sebagian dari kita merasa nyaman atau setidaknya tidak terlalu terganggu oleh "mystery flights /penerbangan misteri" di mana tujuan tidak diketahui. Namun, bagi sebagian yang lain merasa tidak nyaman dalam situasi tersebut, dan cenderung menjadi resistor/penolak mengikuti penerbangan tersebut terkecuali ada rincian signifikan dari perjalanan dan tujuan yang jelas. Bagi sebagian orang, perubahan dalam organisasi merupakan ketidakpastian yang memperbesar kurangnya keyakinan bahwa mereka memiliki keterampilan/kemampuan yang dibutuhkan dalam situasi pasca-perubahan.
3.      Efek persepsi negatif pada perubahan 
Kesiapan untuk menerima perubahan juga akan dipengaruhi oleh persepsi anggota tentang efek perubahan pada "kepentingan" masing-masing individu yang dapat mencakup berbagai faktor termasuk kewenangan, status, penghargaan (termasuk gaji) mereka, kesempatan untuk menerapkan keahlian, keanggotaan jaringan pertemanan, otonomi, dan keamanan. Orang merasa lebih mudah untuk mendukung perubahan yang mereka lihat sebagai sesuatu yang tidak mengancam kepentingan tersebut dan mungkin menolak orang-orang yang dipandang sebagai perusak kepentingan-kepentingan ini.
4.      Budaya/identitas organisasi
Kesiapan untuk perubahan dapat secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat keterikatan budaya yang ada. Reger et al. berpendapat bahwa anggota organisasi menafsirkan usulan perubahan dari manajemen melalui model mental yang ada. Dalam hal ini, model mental yang sangat kuat adalah serangkaian kepercayaan anggota yang menjadi budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan ketika menerapkan perubahan mendasar karena budaya organisasi merupakan bentuk pemahaman anggota terhadap organisasi mereka. Pemahaman terhadap organisasi dapat menjadi lawan perubahan karena budaya telah menjadi model mental anggota yang tertanam dalam asumsi paling dasar tentang karakter organisasi.
5.      Persepsi pelanggaran kontrak secara psikologis
Sebuah pelanggaran kontrak terjadi ketika karyawan percaya bahwa manajer tidak lagi menghormati mereka sebagai bagian dari organisasi. Dalam hal ini, Strebel berpendapat bahwa interaksi karyawan dan organisasi tempat mereka bekerja dapat didefinisikan sebagai "kekompakan". Kekompakan tersebut mungkin eksplisit atau implisit (atau campuran keduanya) dan melibatkan tiga dimensi: formal, psikologis, dan sosial. Dimensi formal berkaitan dengan tugas tertentu seseorang, bagaimana hubungannya dengan tugas-tugas yang dilakukan oleh orang lain dalam organisasi, bagaimana kinerja dinilai, dan tingkat terkait remunerasi. Psikologis, merupakan dimensi yang sebagian besar tidak tertulis, akan tetapi berhubungan dengan harapan, kepercayaan, kesetiaan, dan pengakuan. Dimensi sosial mengacu pada nilai-nilai yang dianut organisasi. Menurut Strebel, di mana terjadi konflik antara perubahan dengan salah satu dimensi kekompakan, maka dimungkinkan akan terjadi resistensi terhadap perubahan.
6.      Kurangnya keyakinan bahwa perubahan diperlukan
Perubahan hanya akan didukung jika ada keyakinan bahwa perubahan tersebut diperlukan dalam organisasi. Namun, apa yang tampak jelas dengan jargon "Kita harus berubah!", tidak sepenuhnya difahami oleh orang lain. Mereka mempertanyakan "Apa masalahnya?". Ada banyak alasan yang dapat menjelaskan kepuasan, termasuk track record keberhasilan dan tidak adanya krisis yang terlihat. Orang-orang cenderung bereaksi negatif untuk berubah ketika mereka merasa bahwa tidak ada kebutuhan untuk perubahan.
7.      Kurangnya kejelasan mengenai apa yang diharapkan
Perubahan kadang diusulkan, terutama yang bersifat strategis, akan tetapi kadang tidak dilengkapi dengan informasi yang jelas mengenai implikasi tertentu pada tingkat tindakan individu. Ketika hal ini terjadi, dapat dimungkinkan karyawan akan gagal dalam mengkonversi inisiatif perubahan untuk mendukung aksi di tingkat organisasi. Titik kuncinya adalah, bahwa kurangnya dukungan bukan karena antagonisme terhadap perubahan yang diajukan; akan tetapi karena kurangnya pemahaman yang jelas tentang tindakan apa yang mendukung perubahan.
8.      Kepercayaan bahwa perubahan spesifik menjadi usulan yang tidak pantas
Pada anggota organisasi dampak perubahan yang diusulkan kemungkinan membentuk beberapa pandangan antara lain ; bahwa itu adalah ide yang baik "Kami harus melakukan sesuatu seperti ini", atau ide yang buruk "ide gila siapa ini?" Atau "Ini iseng-iseng". Pada gilirannya, pandangan ini kemungkinan akan mempengaruhi kesiapan mereka untuk perubahan. Sebagai seorang perancang perubahan, sangat mudah untuk melihat orang-orang yang mendukung perubahan maupun yang tidak mendukung perubahan. Dalam hal ini, tidak selalu bagi mereka yang tidak mendukung untuk diberikan sebutan sebagai "penolak perubahan." Sebutan ini tidak selalu tepat, jika penolakan terhadap perubahan tersebut bukan secara umum tetapi untuk perubahan tertentu yang lebih spesifik.
Pada kondisi seperti ini, layak dipertimbangkan bahwa dalam beberapa kasus, "resistor" mungkin benar mengenai asumsi perubahan yang diusulkan mungkin bukanlah ide yang bagus. Artinya, kadang-kadang "suara perlawanan menjaga manajer dari mengambil tindakan/keputusan yang tidak tepat." Perubahan juga dapat dilihat sebagai hal yang tidak perlu jika terdapat perbedaan mendasar dengan "visi." Strategi adalah cara untuk mencapai tujuan/visi organisasi. Dalam lingkungan organisasi sangat dimungkinkan terjadi perbedaan pandangan mengenai strategi yang tepat dalam mewujudkan visi organisasi.
9.      Kepercayaan bahwa waktunya salah
10.  Perubahan yang berlebihan
11.  Efek kumulatif dari perubahan lain dalam kehidupan seseorang
12.  Dirasakan berbenturan dengan etika
13.  Perbedaan persepsi mengenai cara melakukan perubahan
Organisasi yang hidup adalah organisasi yang penuh dinamika dan perubahan. Organisasi yang hidup tidak selalu berjalan dengan mulus akan tetapi penuh dinamika yang pada akhirnya akan memacu perubahan dan pertumbuhan organisasi menjadi lebih baik dan lebih mapan dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan dan ketidakpastian. Resistensi hampir tidak pernah absen ketika suatu organisasi mulai menerapkan sesuatu yang baru, entah itu strategi baru, proses baru ataupun sistem yang baru sebagai antisipasi terhadap perubahan-perubahan eksternal. Penerapan strategi baru, proses baru ataupun sistem baru untuk mengantisipasi perubahan tersebut memang identik pula dengan perubahan-perubahan internal. Begitupun ketika suatu organisasi mencanangkan suatu visi yang baru, banyak perubahan yang harus menyertainya.
Resistensi terhadap perubahan adalah "trimatra/tiga dimensi," yang melibatkan komponen afektif, perilaku, dan kognitif. Komponen afektif adalah bagaimana seseorang merasakan adanya perubahan (misalnya, marah), komponen kognitif adalah bagaimana seseorang berpikir tentang perubahan, dan komponen perilaku adalah apa yang dilakukan seseorang dalam wajah perubahan. Respon perilaku bermacam-macam bentuknya, Hultman menggambarkan perbedaan antara respon aktif dan pasif dan mengidentifikasi berbagai "gejala" yang masing-masing saling terkait. Gejala perlawanan aktif diidentifikasi sebagai sikap kritis, menemukan kesalahan, mengejek, membuat rasa takut, menggunakan fakta-fakta secara selektif, menyalahkan atau menuduh, sabotase, mengintimidasi atau mengancam, memanipulasi, mendistorsi fakta, memblokir, merusak, membuat rumor, dan berdebat. Sedangkan gejala-gejala yang diidentifikasi sebagai penolakan pasif seperti : setuju secara lisan tetapi tidak diikuti denggan perbuatan (pemenuhan ketaatan), gagal untuk melaksanakan perubahan; menunda-nunda atau mengganggu kerja seseorang, pura-pura tidak tahu, pemotongan informasi, saran, bantuan, atau dukungan, mewakili, dan membiarkan perubahan gagal.
Secara umum perubahan bertujuan agar suatu organisasi dapat berkembang menjadi lebih baik. sebagian besar resistensi terhadap perubahan berdampak pada terkendalanya perubahan yang diinginkan dan menghambat kemajuan organisasi. Akan tetapi penolakan/resistensi terhadap perubahan tidak selamanya berdampak negatif. Hal ini dikarenakan kadangkala kebijakan mengenai perubahan yang diusulkan oleh seorang manajer bukanlah perubahan yang diperlukan oleh organisasi tersebut, mengingat sebelum perubahan diusulkan organisasi dapat berjalan dengan baik. Penerapan perubahan kadang juga dianggap belum tepat waktu/timing-nya oleh anggota organisasi. Hal ini terjadi ketika seorang manajer memiliki keinginan untuk mewujudkan obsesinya tanpa melihat kondisi organisasi. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan bahwa dalam beberapa kasus, "resistor" mungkin benar sebab asumsi perubahan yang diusulkan mungkin bukanlah ide yang bagus. Artinya, kadang-kadang "suara perlawanan menjaga manajer dari mengambil tindakan/keputusan yang tidak tepat." Perubahan juga dapat dilihat sebagai hal yang tidak perlu jika terdapat perbedaan mendasar dengan "visi."
Penolak perubahan tidak selamanya diberikan stigma negatif. Resistensi/penolakan dapat bersifat positif terlebih ketika penolakan tersebut dapat berfungsi sebagai kontrol kebijakan, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang manajer tidak salah dan justru berdampak negatif bagi organisasi.

Rofiq Faudy Akbar




Palmer, Ian, et all. 2009. Managing Organizational Change, “A Multiple Perspectives Approach”. Second Edition. New York : The McGraw-Hill Companies.
 

Tidak ada komentar:

Mari Pelihara Negeri Ini

Sudah sekian puluh tahun negara kita memproklamirkan kemerdekaannya, sudah selama itu pula bangsa kita memulai kehidupan sebagai negara yang berdaulat membangun sebuah tata kehidupan yang gemah ripah loh jinawi. Sudah banyak kita rasakan dan kita lihat perubahan-perubahan pada negeri kita, pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana telah terlengkapi sedikit demi sedikit, akan tetapi sedikit demi sedikit pula kerusakan kita timbulkan akibat perubahan yang kita buat dengan tidak sama sekali memperhitungkan faktor keseimbangan ekosistem. Kerusakan-kerusakan yang kita timbulkan sedikit-demi sedikit akan terakumulasi dengan menimbulkan bencana yang besar bagi kehidupan umat manusia. Tengok sajalah mengenai permasalahan banjir yang tiap tahun kita alami di berbagai daerah, bukan saja kerugian material akan tetapi juga kerugian immaterial yang kita alami. Permasalahan banjir adalah bencana yang terjadi akibat komplektivitas kerusakan yang kita timbulkan mulai dari hulu DAS hingga hilir. Di daerah hulu pembukaan lahan yang sembrono, penebangan hutan besar-besaran dan mengganti hutan dengan perkebunan, atau menghilangkan tanaman yang memiliki perakaran kuat. Di daerah hillir menutup daerah-daerah yang berfungsi sebagai penyerapan air dengan bangunan-bangunan sehingga menghalangi infiltrasi air ke dalam tanah. Satu kerusakan saja yang kita timbulkan akan mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu, sebagi misal illegal logging, dengan illegal logging akan berakibat terjadinya longsor lahan, pemanasan global, banjir dan intrusi air laut ke daratan, terganggunya ekosistem dan lain sebagainya. Melihat hal tersebut maka sebagai generasi bangsa mulai dari sekarang marilah kita rubah paradigma dan pola pikir masyarakat kita dari pola pikir yang semau gue kepada pola pikir yang penuh tanggung jawab.