Jumat, 14 Februari 2014

MENYOAL KEMBALI MENGENAI OTONOMI DAN DESENTRALISAS1 PENDIDIKAN

Oleh ;
Rofiq Faudy Akbar, M.Pd

Lima belas tahun berlalu sejak 1998, salah satu dampak dari reformasi yaitu munculnya keinginan dari masyarakat kalangan bawah mengenai adanya pengakuan atas hak-hak asasi di seluruh aspek kehidupan, seperti ; politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan. Masyarakat memandang perlunya peningkatan demokrasi dalam kehidupan bernegara untuk menuju masyarakat madani (civil society). Yaitu suatu masyarakat ideal yang memiliki peradaban maju dan sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat, yaitu masyarakat yang cenderung memiliki usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran seni maupun dalam pelaksanaan pemerintahan untuk mengikuti undang-undang, demi terlaksananya sistem yang transparan.

Salah satu pengakuan atas hak-hak masyarakat dalam menciptakan kehidupan yang lebih demokratis adalah terselenggaranya proses desentralisasi pendidikan dan kebudayaan. Dalam pandangan masyarakat, pendidikan saat ini telah terlepas dari kehidupan lokal dan kebudayaannya. Pendidikan yang seharusnya dari dan untuk masyarakat setempat menjadi suatu proses pendidikan yang mengasingkan peserta didik dari masyarakatnya. Kondisi ini merupakan implikasi kebijakan di masa lalu yang membatasi peran masyarakat dalam pengelolaan pendidikan dan kebudayaan.

Menurut Hargiono (2003), Pendidikan dan kebudayaan pada era rezim Suharto berkuasa terdapat kecenderungan untuk mewujudkan suatu keseragaman di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian tidak ada lagi tempat bagi gagasan-gagasan yang datang dari masyarakat, baik secara individual maupun secara berkelompok. Hal ini tentu saja menyimpang dari karakteristik bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan sangat heterogen. Pendidikan dan kebudayaan telah didepolitisasikan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu sarana untuk menunjang struktur kekuasaan rezim saat itu. Oleh karena itulah pendidikan dan kebudayaan telah di arahkan pada berbagai keseragaman, di mana pada satu sisi tidaklah salah, tetapi pada bagian yang lain terlalu banyak unsur keburukannya. Inilah kelemahan sistem sentralistik dimana Pemerintah Pusat yang tidak memahami pola pendidikan di daerah, ikut menentukan arah pelaksanaan pendidikan.

Demikian pula mengenai jenjang dan jenis pendidikan yang serasa dikotak-kotakkan, sehingga tampak satu sama lain tidaklah berhubungan. Sebagai contoh, pendidikan tinggi yang ada seolah-olah tidak berkaitan dengan pendidikan menengah dan pendidikan menengah tidak berhubungan dengan sebagian pendidikan dasar. Segmentasi jenis dan jenjang pendidikan ini tampaknya merupakan hasil dari sistem birokrasi dan sentralisasi pengelolaan pendidikan. Peraturan pemerintah No. 2871990 yang berlaku selama rezim Suharto berkuasa, membatasi pemerintah daerah hanya pada pengelolaan kepengurusan sekolah dasar. Fakta ini memberikan implikasi pada suatu kecenderungan bahwa pendidikan menjadi tidak relevan dengan kebudayaan masyarakat di mana lembaga pendidikan itu berada.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu pendidikan yang bersandarkan pada masyarakat (community-based education). Pendidikan yang memiliki orientasi pada masyarakat, menuntut kelembagaan-kelembagaan yang baru berdasarkan paradigma pengembangan pendidikan daerah. Kelembagaan pendidikan yang dimaksud meliputi unsur kurikulum, peserta didik, dan tenaga kependidikannya. Pendidikan merupakan kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal, maka semua unsur tersebut harus diberdayakan ke arah fungsinya yang baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Respon positif dari pemerintah mengenai reorientasi pendidikan pada masyarakat lokal adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan daerah. Pemberlakuan sistem desentralisasi dalam UU otonomi daerah memberi dampak terhadap pelaksanaan manajemen pendidikan, yaitu manajemen yang memberi ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan pendidikan untuk menemukan strategi berkompetisi dalam era kompetitif mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Pemberlakuan desentralisasi atau otonomi pendidikan mengharuskan diperkuatnya landasan dasar pendidikan yang demokratis, transparan, efisien dan melibatkan partisipasi masyarakat daerah.

Pelaksanaan pendidikan di daerah tidak akan berhasil tanpa adanya kontribusi masyarakat lokal, Muctar Buchori (2001) menyatakan pendidikan merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan manusia, karena pendidikan berfungsi sebagai pengembang pengetahuan, ketrampilan, nilai dan kebudayaan. Tujuan utama dari desentralisasi atau otonomi pada hakikatnya untuk memandirikan seseorang, atau suatu lembaga, atau suatu daerah. Dari sini dapat dikatakan bahwa otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu keleluasaan dalam mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan. Dalam konteks otonomi pendidikan, secara alamiah (nature) pendidikan adalah otonom, sebagaimana yang dikemukakan Ateng Syafruddin (1985: 23) bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian. Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum atau aturan (Abdurrahman, 1987: 9.

Jika dilihat proses desentralisasi pendidikan di Indonesia berdasarkan UU No.22 tahun 1999 lebih menjurus kepada Devolusi. Devolusi adalah pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintahan di tingkat lokal oleh pemerintah pusat dengan kontrol pusat seminimal mungkin dan terbatas pada bidang-bidang tertentu saja. Pelaksanaannya Devolusi di bidang pendidikan tertuang pada Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, dimana kewenangan Pemerintah pusat meliputi ; standar kompetensi, kurikulum nasional, penilaian hasil belajar nasional dan pedomannya, standar materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan dan penetapan kalender pendidikan dan jam mengajar efektif bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah. Adapun Pendidikan Tinggi. Kewenangan Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar minimal bagi hal-hal tersebut diatas, penetapan persyaratan dan penggunaan gelar akademik serta pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh serta pengaturan sekolah internasional (Pasal 2 butir 3 poin 11). Kewenangan Pemerintah Pusat tersebut hanya secara makro (sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 2 butir 2 sebelumnya), yang artinya Pemerintah Pusat hanya menetapkan garis-garis besarnya saja, sedangkan pelaksanaan dan pengembangannya diserahkan pada daerah otonom atau pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan.

UU Nomor 12 Tahun 2012 juga menjamin otonomi perguruan tinggi serta mengatur dengan tegas tanggung jawab negara atas penyelenggaraan pendidikan tinggi dan pendanaan pendidikan tinggi untuk mencegah komersialisasi pendidikan, memperluas akses mengikuti pendidikan tinggi bagi masyarakat kurang mampu secara ekonomi, dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan tinggi bagi masyarakat di daerah terluar, tertinggal dan terdepan. Otonomi pendidikan terutama pada Perguruan Tinggi, menjadi keharusan untuk diterapkan pada semua jenjang perguruan tinggi di seluruh Indonesia, baik akademik maupun non akademik. Otonomi akademik merupakan wujud pelaksanaan tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat) dalam rangka membangun sumberdaya manusia yang berkualitas. Sedangkan otonomi non akademik merupakan syarat untuk mewujudkan pengelolaan perguruan tinggi yang baik (good university governance), seperti pengambilan keputusan secara mandiri, penerapan merit system dalam pengelolaan sumberdaya manusia, pengelolaan aset secara efektif dan efisien, dan keleluasaan dalam pengelolaan keuangan yang akuntabel.

Melalui otonomi diharapkan agar Perguruan Tinggi di Indonesia dapat mengejar ketertinggalan di tingkat internasional. Konsep Badan Layanan Umum (BLU) Perguruan Tinggi, diakui beberapa pengamat pendidikan sebagai sebuah kemunduran karena perguruan tinggi tak ubahnya pelaksana satuan kerja pemerintah yang hanya mengurusi administrasi. Hal ini menunjukkan rendahnya posisi perguruan tinggi dalam tatanan pemerintahan. Perguruan Tinggi tidak hanya berfungsi secara hirarkis kepegawaian atau dalam fungsi pengajaran saja, akan tetapi Perguruan Tinggi memiliki fungsi terlaksananya Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Inilah peran sejati Perguruan Tinggi sebagai mercusuar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong kemajuan pembangunan Daerah maupun Nasional. Otonomi kampus sangat diperlukan dalam mendorong dosen meningkatkan riset strategis untuk kemandirian bangsa. Dari sini dapat dikatakan bahwa, kunci suksesnya kemajuan dari Perguruan Tinggi terletak pada modal kreativitas terbaik dosen dan mahasiswanya.

Perguruan tinggi merupakan salah satu institusi yang mempunyai kapabilitas untuk memberikan kontribusinya, di samping perlunya menjaga keseimbangan fungsi perguruan tinggi dalam ikut di percaturan pengembangan ilmu dalam komunikasi global dan menjaga identitas jati diri karena sejarah dan budaya bangsa yang melekat padanya (University Autonomy, Background paper Document I, Ditjen Dikti, 1999). Thailand dan Malaysia pernah belajar (otonomi kampus) dengan Indonesia. Dalam hal ini seharusnya Perguruan Tinggi kita semakin otonom dan semakin naik peringkatnya. Beberapa kampus di Asia seperti di Malaysia, Thailand, Jepang dan China mengalami kemajuan pesat dibanding Indonesia karena telah melaksanakan otonomi perguruan tinggi yang begitu luas. Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Tinggi sebenarnya sudah lama didengungkan oleh masyarakat dunia. Oktober 1989, di Lima (ibu kota Peru) rektor-rektor seluruh dunia mendeklarasikan tentang “Academic Freedom and Autonomy of Higher Education“ yang berisi;

1. Pertama, otonomi perguruan tinggi mengandung pengertian bahwa lembaga perguruan tinggi harus memiliki independensi atau kebebasan dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, kerja sama dan aktivitas lain yang berkaitan, tanpa campur tangan (intervensi) pemerintah atau kekuatan lain.
2. Kedua, seluruh anggota masyarakat akademik memiliki hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan, atau represi dari mana pun.
3. Ketiga, para peneliti dari kalangan kampus memiliki hak untuk melakukan kegiatan penelitian tanpa kekangan atau campur tangan dari pihak lain, berdasarkan prinsip dan metode penelitian ilmiah yang universal. Mereka juga berhak untuk mengomunikasikan, menyebarluaskan atau mempublikasikan hasil-hasil temuannya tanpa adanya sensor dari pihak mana pun.
4. Keempat, semua lembaga pendidikan tinggi wajib berupaya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, kultural, dan politik dari masyarakat serta mencegah penyalahgunaan ilmu dan teknologi yang menyalahi hak-hak tersebut.
5. Kelima, semua lembaga pendidikan tinggi harus aktif berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsanya dan harus kritis terhadap kondisi aktual, seperti represi politik dan pelanggaran hak-hak asasi manusia.
6. Keenam, semua lembaga pendidikan tinggi harus memperkokoh solidaritas dengan lembaga lain yang serupa dan dengan anggota masyarakat akademik secara individual bilamana mereka menghadapi bencana atau tuntutan dari pihak lain. Solidaritas tersebut bisa dalam wujud moral maupun material, yang mencakup juga para pengungsi serta penyediaan pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi para korban.
7. Ketujuh, semua lembaga pendidikan tinggi harus berusaha mencegah ketergantungan ilmu dan teknologi serta mengupayakan kemitraan yang setara dengan seluruh komunitas akademik di dunia dalam pengembangan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus lebih digalakkan kerja sama akademik dalam skala internasional, melampaui batas-batas regional, politik, dan batas-batas penghambat lain.
8. Kedelapan, seluruh lembaga pendidikan tinggi harus menjamin partisipasi para mahasiswa dalam organisasi-organisasi mereka, baik secara individual maupun kolektif, untuk menyampaikan pendapat atau opininya dalam setiap masalah yang berkala nasional maupun internasional.
9. Kesembilan, otonomi perguruan tinggi harus dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis dalam wujud self-government, dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh komunitas akademik yang bersangkutan.

Dari berbagai sumber

Mari Pelihara Negeri Ini

Sudah sekian puluh tahun negara kita memproklamirkan kemerdekaannya, sudah selama itu pula bangsa kita memulai kehidupan sebagai negara yang berdaulat membangun sebuah tata kehidupan yang gemah ripah loh jinawi. Sudah banyak kita rasakan dan kita lihat perubahan-perubahan pada negeri kita, pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana telah terlengkapi sedikit demi sedikit, akan tetapi sedikit demi sedikit pula kerusakan kita timbulkan akibat perubahan yang kita buat dengan tidak sama sekali memperhitungkan faktor keseimbangan ekosistem. Kerusakan-kerusakan yang kita timbulkan sedikit-demi sedikit akan terakumulasi dengan menimbulkan bencana yang besar bagi kehidupan umat manusia. Tengok sajalah mengenai permasalahan banjir yang tiap tahun kita alami di berbagai daerah, bukan saja kerugian material akan tetapi juga kerugian immaterial yang kita alami. Permasalahan banjir adalah bencana yang terjadi akibat komplektivitas kerusakan yang kita timbulkan mulai dari hulu DAS hingga hilir. Di daerah hulu pembukaan lahan yang sembrono, penebangan hutan besar-besaran dan mengganti hutan dengan perkebunan, atau menghilangkan tanaman yang memiliki perakaran kuat. Di daerah hillir menutup daerah-daerah yang berfungsi sebagai penyerapan air dengan bangunan-bangunan sehingga menghalangi infiltrasi air ke dalam tanah. Satu kerusakan saja yang kita timbulkan akan mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu, sebagi misal illegal logging, dengan illegal logging akan berakibat terjadinya longsor lahan, pemanasan global, banjir dan intrusi air laut ke daratan, terganggunya ekosistem dan lain sebagainya. Melihat hal tersebut maka sebagai generasi bangsa mulai dari sekarang marilah kita rubah paradigma dan pola pikir masyarakat kita dari pola pikir yang semau gue kepada pola pikir yang penuh tanggung jawab.