Jumat, 12 November 2010

MAHASISWA KEBUMIAN: UJUNG TOMBAK SOSIALISASI MITIGASI BENCANA GEMPA, TSUNAMI dan GUNUNG API INDONESIA

MAHASISWA KEBUMIAN: UJUNG TOMBAK SOSIALISASI MITIGASI BENCANA GEMPA, TSUNAMI dan GUNUNG API INDONESIA

Dr Andang Bachtiar
Ketua Dewan penasehat IAGI - Ikatan Ahli Geologi Indonesia
(ditulis pertama kali 8 April 2007, ditulis ulang barusan: 1 November 2010)

Pada saat2 seperti ini, saat semua orang berkonsentrasi pada usaha ke-gawat-darurat-an penanganan langsung korban2 bencana (Wasior, Mentawai, Merapi), mungkin tidak terlalu banyak yg bisa dilakukan oleh kalangan saintis maupun praktisi ilmu kebumian yg sesuai dg jalur profesinya. Diantara kita ada yg ikut serta dalama arus besar kerja sukarela SAR (kalau mampu),penanganan pengungsi (kalau ada waktu), penyediaan air bersih sarana dan prasarana darurat (kalau memang ada di sector yg bersesuaian), atau mungkin ikutan meneliti aspek2 terbaru dr fenomena geologinya shg bisa dipakai langsung dlm usaha relokasi recovery (nantinya) atau mitigasi-prediksi untuk membuat gambaran proses bencana geologi ini lebih lengkap jadinya. Tentu saja dalam hal sumbang menyumbang bahan makananan, medis, pakaian dsb spt umumnya seluruh lapisan masyarakat lainnya, kita di komunitas professional kebumian bisa juga bergerak bersama.

Tanpa mengurangi urgensi penanganan kedaruratan yg sdg beralangsung dan mumpung masih hangat, saya mencoba untuk mengingatkan kembali betapa jauh lebih pentingnya menggurangi resiko bencana daripada menghadapai bencana begitu saja tantang menantang tanpa persiapan apapun juga selain jor-jor-an dana penanggulangan di anggaran2 pemerintah. Dan yg paling dasar dari proses pengurangan resiko tersebut adalah membangun kapasitas internal masyarakat sendiri untuk bersiap menghadapi bencana lwt pendekatan tradisi, budaya, pembenahan infrastruktur penyelamatan dan tata ruang yg antisipatif thdp bencana serta latihan2 tanggap darurat (atau sering diistilah-kerenkan sbg simulasi simulasi). Sosialsisasi2 ttg masalah2 tersebut di atas harus terus menerus dilakukan terutama di daerah2 yg sdh jelas2 diidentifikasi oleh para ahli sbg daerah yang potensial menuai bencana dg siklus proses gempa-tsunami- letusan gn api yg tertentu.

Soal sosialisasi mitigasi bencana pasca gempa Mentawai (untuk menghindari korban - ekses dalam kejadian2 pasca-gempa), saya sangat yakin Pak Ade (IAGI SumBar, Distam) dan Pak Badrul (HAGI Padang, Unand) sudah berusaha sekuat tenaga, mengorbankan waktu-pikiran (dan bahkan dana pribadi) untuk melakukannya. Juga untuk mitigasi bencana pasca Merapi atau gempa Yogja, kawan2 dr Bandung maupun Yogja sendiri baik secara kedinasan maupun inisiatif kelompok akademik, keprofesian maupun NGO, semuanya sudah berbondong2 turun lapangan. Tetapi kita semua juga tahu bahwa jumlah, tenaga, pikiran dan terutama “waktu” para ahli geologi-geofisik (baca: anggota IAGI maupun HAGI), sangat-sangatlah terbatas. Banyak diantara kita yang tidak bekerja di domain kebencanaan tersebut. Apa kata bozz di kumpeni/instansi kalau kita sering-sering voluneering jalan-jalan untuk nyambangi masyarakat yang perlu penjelasan, ketenangan psikis, dan keyakinan bahwa mereka harus pindah (walau untuk sementara) dari zona-zona rawan pasca gempa atau bahkan zona-zona rawan pre-syn-pasca gempa (rawan forever). Termasuk -mungkin- kawan-kawan IAGI-HAGI di SumBar, Yogja, Papua. Mereka pasti sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi apa daya: manajemen kerja / concern sosial kita masih belum terbentuk bagus. Tidak mungkinlah kita para ahli geologi-geofisik ini bisa bekerja full-time melakukan sosialisasi-sosialisasi tersebut. Apalagi kalau kita bicara soal volunteering dengan network kawan-kawan IAGI-HAGI dari daerah lain dan (terutama) dari pusat (JKT-BDG-YK). Selain komunikasi antar kita lewat dunia email seringkali hanya sebatas wacana, analisis, dan saling-tukar-pengalaman (belaka) == jarang yang pasti-pasti untuk mengorganisasikan suatu kerja nyata === , juga sistim tanggap-sosial organisasi keprofesian kita (IAGI-HAGI) nampaknya sedang tidak sigap.

Dalam kaitan dg permasalahan tbs, saya mengusulkan kepada kawan-kawan PP-IAGI, PengDa2 IAGI, maupun Pengurus HAGI, untuk secara serius mengorganisasikan mobilisasi rekan-rekan mahasiswa kebumian (fisika, geofisika, geologi, geodesi, geografi) sebagai ujung-tombak sosialisasi-sosialisasi tersebut dalam arti yang sebenar-benarnya (bukan hanya wacana, diskusi, dan perencanaan diatas kertas dan rapat-rapat tanpa follow-up).

Kenapa mahasiswa? Dari dulu (waktu kita masih mahasiswa) sampai sekarang “mahasiswa” adalah posisi yang relatif “sedikit beban” dibandingkan dengan kita-kita yang sudah “banyak beban”. Waktu ekstra untuk berkegiatan kemahasiswaan maupun (seringkali) untuk diskusi-diskusi, bersosialisasi, pacaran, bahkan demonstrasi-demonstrasi relatif lebih banyak daripada para ahli yang sudah bekerja. Walaupun seringkali kita mendengar dari waktu ke waktu bahwa mahasiswa kita dituntut untuk sekolah cepat, tepat-waktu, gak neko-neko, dsb, terutama dengan beban kredit yang banyak(??) dan regulasi yang makin ketat (DO, skors dsb) dan tuntutan untuk keep-up dengan kebutuhan industri lewat interaksi dg orang2 industri dan teknologinya (diluar kuliah resmi),….. tetap saja masih ada waktu ekstra buat mereka untuk berkegiatan kemahasiswaan dsb. Masih banyak calon-calon pengganti kita yang concern, militan, dan mau bekerja untuk kepentingan organisasinya, berlatih, berinteraksi, diluar program-program resmi perkuliahan. Yang mereka butuhkan adalah fasilitasi, sedikit training-kursus ttg hal-hal advanced di khasanah mitigasi (yang dasar2 sdh mereka kuasai), dan dukungan network, pembiayaan (yang sangat-sangat minimal dibandingkan dengan kalo kita turun sendiri), dan kadang-kadang sekali-dua-kali kita-kita yang sudah “ahli’ dan pengen ikutan jalan2 (dan waktu memungkinkan) bisa turun bersama mereka di kampung-kampung, desa-desa, daerah2 yang memerlukan sosialisasi tersebut. Menurut catatan saya ada 11 Perguruan Tinggi punya Jurusan Geologi, empat angkatan yang masih aktif jumlahnya bervariasi antara 4×30=120 s/d 4×150=160 per perguruan tinggi. Jadi antara 1320 s/d 1760 mahasiswa geologi aktif calon-calon penerus kita sedang belajar geologi di PT-PT kita. Taruhlah 20% saja yang punya minat dalam program kemahasiswaan-keprofesian-
pengabdian masyarakat seperti ini; kita sudah punya 264 s/d 352 mahasiswa yang bila dibagi di 12 Pengda IAGI maka rata2 tiap Pengda bisa mendapatkan bantuan dari minimal 22 mahasiswa. Jumlah yang cukup banyak untuk secara bergantian, bergilir (menyesuaikan dengan jadwal kuliah, ujian dsb) mempelopori jalan-jalan sosialisasi ke daerah2 yang sudah dan akan terkena bencana. Belum lagi kalau kita hitung potensi dari mahasiswa2 Fisika, Geofisika, Geodesi, Geografi,… kemungkinan angka tersebut akan dapat berlipat tiga kali.

Kenapa sebenar-benarnya? Karena saya melihat dan merasakan selama ini organisasi profesi kebumian kita (IAGI, HAGI, IATMI, dsb) masih sibuk dengan urusan yang belum benar-benar menyentuh langsung ke bawah (ke masyarakat langsung). Yang tidak langsung sich banyak: berkiprah di profesi masing-masing demi menyumbang devisa negara, meningkatkan wacana pengetahuan anggota, dsb dsb. Usaha-usaha untuk bersinergi dengan potensi kekuatan yang namanya “mahasiswa” belum pernah benar-benar dilakukan oleh organisasi-organisasi kita dalam rangka mitigasi sosialisasi ini. Yang ada seringkali menggunakan mahasiswa sebagai volunteer untuk pertemuan2 ilmiah, ikut jadi panitia, tanpa ada peluang untuk mengedepankan mereka dengan segala potensi kekuatannya. Perhimagi sebagai kumpulan resmi organisasi2 himpunan mahasiswa geologi kita juga kurang diberdayakan, jarang diajak ngomong, dan bahkan susah untuk berhubungan dengan kita2 resmi atau tidak resmi (kecuali di beberapa Pengda/Universitas, dimana dosen-dosennya juga punya concern kuat terhadap organisasi kemahasiswaan, seperti Mas Agus Hendratno di UGM: Salut!!!).

Kita bisa melakukannya. Sangat bisa!!! Pada waktu gempa Yogja, siapa yang turun ke daerah2? Mahasiswa!!! Termasuk mahasiswa2 geologi kita. Mereka menyebarkan ribuan selebaran informasi tentang gempa-tsunami dalam rangka menenangkan masyarakat sekaligus juga mengedarkan bantuan2 materi-makanan ke daerah2. Mereka juga ikutan bercerita di tenda-tenda pengungsian menenangkan masyarakat, tentunya beberapa kali juga harus bersama mas Agus, mbak Rita, mas Eko Teguh, dkk. Kita semua ditempat kerja kita masing-masing karena keterbatasan status hanya bisa ikut menyumbang materi maupun ide. Merekalah yang jalan-jalan. Pada waktu pasca gempa-tsunami Aceh serombongan Tim IAGI yang dipimpin oleh pimpro IAGI juga beranggotakan full mahasiswa Trisakti, ITB, UGM, Akprind, Unpad, UPN, dsb, untuk mencarikan dan mengebor air bersih buat pengungsi. Di Malang, mahasiswa2 Fisika Unibraw =anak buahnya mas Adi Susilo= juga aktif bersama AMC (pecinta alam) memetakan bencana longsor di Malang Raya, memetakan pantai selatan JaTim dan indikasi2 bencananya, dan sekaligus juga aktif membuat acara2 sosialiasi di Malang (Cangar), Madiun, Kediri, Trenggalek. Mereka juga terus adakan itu di Blitar, Tulungagung, Lumajang, Jember, sampai Banyuwangi. Dalam kesempatan sosialisasi bersama AMC tersebut di Trenggalek mereka sempat berkolaborasi dengan Perhimagi Yogja yang memberikan penjelasan tentang Geologi Bencana kepada pecinta-pecinta alam dihadapan Wakil Bupati dan DPRD Trenggalek. Bisakah kita seperti mereka? Sebebas mereka? Tentu saja tidak bisa. Tapi kita bisa berkolaborasi, mendukung, memfasilitasi, dan membiayai mereka untuk terus berjalan-jalan menceritakan tentang geologi dan bencana, mengingatkan masyarakat supaya siap-siap, kalo perlu pindah dan merubah tata-ruang dsb… atas nama ILMU KEBUMIAN dan KESADARAN UNTUK MENGABDIKANNYA KE MASYARAKAT.

Nah, tunggu apalagi? Note-1: Dari manapun datangnya, besaran biaya yang mungkin akan dipakai oleh para ahli jalan-jalan ke Padang, pulau2 barat terluar, dan daerah2 rawan bencana letusan volkanik cerita soal gempa letusan gn api dsb ke masyarakat, jumlah yang sama besarnya bisa dipakai oleh kawan2 mahasiswa Fisika Unand Padang atau ITM Medan atau Geologi UGM, UPN, STTNAS, STIAkprind dll untuk jalan-jalan lebih lama, lebih mencakup daerah yang luas, dan lebih menjangkau masyarakat, tentunya dibawah koordinasi IAGI / HAGI Pengda setempat,.. syukur2 PP-IAGI / HAGI juga bisa berperan dalam memfasilitasi programnya.

Note-2: Bukan berarti saya mendiscourage kita2 para ahli geologi untuk sosialisasi ke daerah2, tapi saya lebih menekankan pada program jangka panjang, lebih luas, dan lebih efektif-efisien bersama-sama mahasiswa setempat, tentunya sekali dua kali bersama kita juga.

Salam ADB

from → Disaster, GeoTehnik, Geoscience, Vulkanologi

Sabtu, 12 Juni 2010

APLIKASI PRINSIP ING NGARSA SUNG TULADHA, ING MADYA MANGUN KARSA DAN TUT WURI HANDAYANI UNTUK EFEKTIFITAS PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN

Jika kita berbicara mengenai kualitas pendidikan kita, mungkin tidak akan habis dalam sehari. Berbagai permasalahan telah menjadi sedemikian kompleksnya hingga sulit sekali mencari akar permasalahannya, mulai dari kurikulum, kebijakan pemerintah, sumberdaya pengajar, gaji guru yang rendah, hingga media dan alat pembelajaran yang minim. Hal ini dikarenakan pemerintah sejak dulu tidak memprioritaskan perbaikan di bidang pendidikan, kita terlena ketika pada tahun 70-an banyak tenaga pengajar dari Indonesia yang diekspor ke Negara tetangga sehingga kita menganggap bahwa kualitas pendidikan kita masih lebih baik, masih unggul dibandingkan Negara tetangga tanpa upaya perbaikan yang berkesinambungan. Walhasil, saat ini kualitas pendidikan dan tenaga kerja kita jauh di bawah Malaysia, kita hanya bisa mengekspor TKI dan TKW, bukan untuk menjadi tenaga professional, tetapi hanya untuk menjadi buruh dan pembantu rumah tangga saja.

Melihat begitu terpuruknya kualitas pendidikan yang ada, upaya sadar dan perbaikan mulai diupayakan oleh pemerintah. Mulai dari mengubah kebijakan anggaran pendidikan lebih dari 20%, perbaikan kurikulum, hingga perbaikan gedung dan sarana prasarana pendidikan yang ada. Sebetulnya disinilah peran guru yang lebih besar, guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dituntut untuk tetap bisa mencerdaskan bangsa di tengah kondisi yang sulit. Maka perbaikan kualitas dan sumberdaya tenaga pengajar menjadi sangat urgen disamping perbaikan di bidang kurikulum dan media atau sarana pembelajaran yang ada. Gurulah yang paling berperan untuk menentukan sebuah proses pembelajaran yang dilakukan berhasil atau tidak, guru harus mampu menggunakan media pembelajaran untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar dan guru harus bisa berkreasi untuk menggunakan metode atau merancang model pembelajaran sederhana untuk menunjang pemahaman peserta didik terhadap materi yang disampaikan.

Upaya meningkatkan keberhasilan pembelajaran, merupakan tantangan yang selalu dihadapi oleh setiap orang yang berkecimpung dalam profesi keguruan dan kependidikan. Keberhasilan sebuah proses pembelajaran ditentukan pada proses ketika pembelajaran itu berlangsung. Dalam sebuah proses pembelajaran, model pembelajaran yang dilakukan oleh guru dapat dikategorikan menjadi dua macam, pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher center) dan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student center). Secara sederhana proses pembelajaran tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut :

1. Dalam proses pembelajaran ada guru yang mengajar dengan cara menyampaikan materi pelajaran semata-mata.
2. Disisi lain ada guru yang sengaja menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga
peserta didik dapat melakukan berbagai kegiatan yang beraneka ragam dalam
mempelajari materi pembelajaran.

Kelompok pertama bisa disebut dengan ungkapan dude tapa (duduk, dengar, catat, dan hapalkan), guru hanya berperan sebagai penyampai materi pelajaran. Guru biasanya berdiri di depan kelas, menghadapi sejumlah peserta didik dan menjelaskan isi pelajaran sedangkan peserta didik pada umumnya duduk dengan rapi, mendengarkan keterangan guru, atau sedikit mencatat keterangan itu. Situasi seperti inilah yang disebut pengajaran. Situasi kelas pada proses pengajaran seperti digambarkan di atas bersifat pasif dan verbalistis, yaitu peserta didik hanya diberi atau menerima, dan guru melaksanakan pengajaran dengan penuturan (verbal) semata-mata. Jarang dijumpai keaktifan belajar yang lebih jauh seperti berdiskusi, melakukan penemuan, menguji suatu konsep atau teori, dan sebagainya. Hubungan antar individu (peserta didik ke peserta didik atau peserta didik ke guru) dalam proses pengajaran tampak pincang, sehingga kurang terlihat adanya hubungan timbal balik, baik antara peserta didik ke peserta didik, maupun peserta didik ke guru.

Proses pengajaran dengan model teacher center, mungkin efektif diterapkan pada jaman dahalu dimana kondisi masyarakat masih sederhana, guru masih sangat dihormati oleh orang tua dan peserta didik, akan tetapi menjadi tidak efektif jika diterapkan pada masa sekarang dimana kondisi psikologis dan perkembangan para peserta didik telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan perkembangan teknologi yang sedikit banyak menggeser pola kehidupan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi selain membawa dampak yang positif bagi kehidupan manusia juga membawa dampak yang negatif khususnya bagi generasi muda. Hasil penelitian di Amerika untuk anak usia tujuh hingga empat belas tahun pada tahun 1980 saja, sudah membuktikan bahwa anak-anak pada usia tersebut lebih impulsif dan membangkang, lebih cemas dan penakut, lebih kesepian dan sedih, lebih lekas marah dan kasar. Metode teacher center ini tentu saja kurang efektif jika diterapkan dimasa sekarang, mengingat kondisi peserta didik di tengah pengaruh arus perkembangan teknologi yang sedemikian pesat.

Sedangkan pada kelompok kedua, guru mengajar dengan menciptakan situasi dan kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh pengalaman belajar sesuai dengan tujuan. Oleh karena tujuan yang hendak dicapai itu beraneka ragam, maka situasi pembelajaran pun beraneka ragam pula. Jika tujuan pembelajaran hanya menghendaki peserta didik mengetahui sesuatu, tentu proses pembelajaran pun sederhana. Jika tujuan menghendaki agar peserta didik tidak hanya sekedar mengetahui, tetapi memiliki kemampuan yang lebih jauh, seperti memahami, mampu menerapkan suatu konsep dalam berbagai keadaan, atau memiliki bentuk-bentuk keterampilan tertentu disesuaikan dengan tuntutan pencapaian tujuan tersebut, maka proses itulah yang disebut pembelajaran.

Peran guru dalam pembelajaran berbeda dengan peran guru dalam mengajar yang termasuk pada kelompok pertama. Pada kelompok kedua, guru berperan sebagai orang yang selalu berupaya untuk memberi rangsangan (stimulus) agar peserta didiknya mau mempelajari suatu materi pembelajaran tertentu. Pada saat peserta didik melakukan proses belajar, guru membimbing atau membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi sehingga yang bersangkutan mampu memecahkannya. Di samping itu guru pun mengarahkan peserta didik belajar, sehingga dapat mencapai tujuan dan dia pun selalu berupaya agar peserta didiknya selalu termotivasi untuk belajar. Dengan cara semacam ini peserta didik lebih aktif dalam belajar, dan kegiatannya pun beraneka ragam. Peserta didik dapat mempelajari suatu materi pembelajaran tertentu dengan cara diskusi, melakukan penemuan, melakukan percobaan, melakukan latihan, dan sebagainya, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, cara-cara inilah yang disebut dengan metode pembelajaran.

Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student center) sebetulnya sudah sejak dulu dicetuskan oleh bapak pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara melalui prinsip-prinsip pembelajarannya yang kita kenal dengan sebutan trilogi pendidikan yaitu “ING NGARSA SUNG TULADHA, ING MADYA MANGUN KARSA, TUT WURI HANDAYANI” yang berarti di depan memberi teladan, di tengah membangun karya dan di belakang memberi dorongan. Prinsip-prinsip ini hanya bisa diterapkan jika, dalam sebuah pembelajaran seorang guru menerapkan metode pembelajaran, sedangakan jika guru hanya menerapkan metode ceramah saja maka dia hanya menerapkan prinsip “ing ngarsa sung tuladha”, guru hanya berdiri di depan menerangkan dan memberi contoh, para peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk berkarya dan guru tidak bisa memotivasi peserta didik untuk menampilkan hasil karya mereka. Sedangkan jika guru menerapkan berbagai metode pembelajaran, maka dalam proses pembelajarannya dapat dilihat sebagai berikut :

Ketika berdiri di depan : guru dapat melakukan apersepsi, menghubungkan pelajaran sekarang dengan pelajaran yang lalu, memberikan contoh dan pengalaman dunia nyata kepada peserta didik
Ketika dia di tengah : guru masuk ke dalam ruang kerja peserta didik, bukan untuk mengintervensi mereka, tetapi untuk mendorong mereka berkarya, membantu memecahkan permasalahan yang ada dalam kelompok kecil dan menyadarkan peserta didik agar dapat bekerjasama dalam sebuah lingkungan sosial kelompok.
Ketika di belakang : guru mendorong dan memberikan motivasi kepada para peserta didik untuk berani tampil di depan, mempresentasikan hasil karya mereka kepada teman-teman yang lain.

Metode pembelajaran dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan strategi yang dipilih, misalnya metode tanya jawab, diskusi, eksperimen, dan pendekatan beberapa model pembelajaran seperti quantum teaching, CTL, group investigasi dll. Penggunaan metode menjadi sangat urgen dalam sebuah proses pembelajaran, salah seorang pakar pendidik seperti Mahmud Yunus pernah mengatakan bahwa metode pembelajaran jauh lebih penting dari pemberian materi pelajaran (Al Thariqah Ahamm Min Al-Madah).

Integrasi prinsip “ing ngarsa sung taladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” ke dalam metode pembelajaran, menjadikan suasana kelas kondusif, menyenangkan, proses pembelajaran menjadi interaktif, guru dapat masuk ke dalam alam pikiran peserta didik sehingga dapat mengembangkan potensi individunya secara optimal, dengan kata lain “bawalah dunia mereka ke dunia kita dan hantarkan dunia kita ke dunia mereka”.

Dari sini dapat kita katakan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus dapat memilih atau merancang sebuah model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan seperti metode tanya jawab, diskusi, eksperimen, dan pendekatan beberapa model pembelajaran seperti quantum teaching, CTL, group investigasi dll. kemudian mengintegrasi prinsip-prinsip trilogi pendidikan kedalam pelaksanaan pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran tidak akan efektif, jika guru mengajar dengan gaya ketika dia hanya menggunakan metode ceramah, akan tetapi dalam sebuah proses pembelajaran guru seolah-olah sedang memimpin konser saat berada di ruang kelas, guru memahami sekali bahwa setiap murid memiliki karakter masing-masing sebagaimana alat musik seperti seruling dan gitar yang memiliki suara yang berbeda. Sebagaimana seorang dokter yang mengobati pasien-pasiennya, jika dia memberikan obat yang sama pada setiap penyakit, maka bukan kesembuhan yang didapat, melainkan penyakit baru yang lebih kronis sebagai akibat kesalahan dalam penggunaan metode pengobatan.

Mari Pelihara Negeri Ini

Sudah sekian puluh tahun negara kita memproklamirkan kemerdekaannya, sudah selama itu pula bangsa kita memulai kehidupan sebagai negara yang berdaulat membangun sebuah tata kehidupan yang gemah ripah loh jinawi. Sudah banyak kita rasakan dan kita lihat perubahan-perubahan pada negeri kita, pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana telah terlengkapi sedikit demi sedikit, akan tetapi sedikit demi sedikit pula kerusakan kita timbulkan akibat perubahan yang kita buat dengan tidak sama sekali memperhitungkan faktor keseimbangan ekosistem. Kerusakan-kerusakan yang kita timbulkan sedikit-demi sedikit akan terakumulasi dengan menimbulkan bencana yang besar bagi kehidupan umat manusia. Tengok sajalah mengenai permasalahan banjir yang tiap tahun kita alami di berbagai daerah, bukan saja kerugian material akan tetapi juga kerugian immaterial yang kita alami. Permasalahan banjir adalah bencana yang terjadi akibat komplektivitas kerusakan yang kita timbulkan mulai dari hulu DAS hingga hilir. Di daerah hulu pembukaan lahan yang sembrono, penebangan hutan besar-besaran dan mengganti hutan dengan perkebunan, atau menghilangkan tanaman yang memiliki perakaran kuat. Di daerah hillir menutup daerah-daerah yang berfungsi sebagai penyerapan air dengan bangunan-bangunan sehingga menghalangi infiltrasi air ke dalam tanah. Satu kerusakan saja yang kita timbulkan akan mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu, sebagi misal illegal logging, dengan illegal logging akan berakibat terjadinya longsor lahan, pemanasan global, banjir dan intrusi air laut ke daratan, terganggunya ekosistem dan lain sebagainya. Melihat hal tersebut maka sebagai generasi bangsa mulai dari sekarang marilah kita rubah paradigma dan pola pikir masyarakat kita dari pola pikir yang semau gue kepada pola pikir yang penuh tanggung jawab.