Selasa, 11 Oktober 2011

AMANAT BAB II PASAL 3 UU SISDIKNAS DAN KONTRIBUSI BUDAYA SAMIN DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

Amanat Bab II Pasal 3 UU Sisdiknas

Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Amanat pendidikan nasional tersebut menegaskan bahwa pembentukan watak menjadi target utama dalam dunia pendidikan. Watak atau karakter menjadi modal utama untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Sebuah bangsa akan baik jika para pemimpinnya memiliki karakter yang baik dan hal ini tidak akan bisa dicapai bila karakter yang baik tersebut tidak mendominasi kehidupan rakyatnya.

Untuk membentuk karakter dalam kehidupan masyarakat jalan satu˗satunya adalah melalui pendidikan. Pendidikan adalah upaya memasukkan unsur˗unsur kebudayaan kedalam diri peserta didik melalui pembelajaran yang komprehensif dan berkesinambungan. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan dalam arti umum yang meliputi pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal, karena guru sebagaimana kata Natsir bukan sekadar 'guru pengajar dalam kelas formal'. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik.

Melalui pendidikan seharusnya mampu mencetak generasi-generasi yang tidak hanya terampil dan cakap secara intelektual akan tetapi juga generasi yang memiliki kekuatan batin dan karakter yang baik. Sebagaimana telah dipesankan oleh bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”(kemendiknas, www.isi-dps.ac.id)

Akan tetapi nasehat baik tersebut sepertinya tidak pernah kita hiraukan, sehingga ketika bangsa ini telah mengalami keterpurukan karakter barulah sadar dan kebingungan mencari konsep yang sebenarnya telah kita kenal sejak dahulu kala. Ya, konsep tersebut telah disetuskan oleh bapak pendidikan kita sejak bangsa ini pertama kali mulai merangkak membangun diri membentuk suatu bangsa yang berdaulat.
Hal senada juga telah dipaparkan oleh M Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut” (Pada 17 Agustus 1951, enam tahun setelah kemerdekaan RI), Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia setelah kemerdekaan dengan prakemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah.

Natsir menulis: "Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau. Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya"(Republika, Senin, 14 Juni 2010)

Begitulah penggalan kata-kata Natsir yang keluar 60 tahun lalu, tapi seolah bangsa ini tidak pernah sadar dan sesegera mungkin menyembuhkan penyakit akutnya. Justru sebaliknya bangsa ini membiarkan dirinya semakin digerogoti oleh virus yang melumpuhkan. Apa yang salah dengan system pendidikan kita sehingga menghasilkan pemimpin-pemimpin yang sangat korup dan sebagian besar birokrat kita bermental amoral? Sepertinya tidak fair jika kita hanya menghakimi dunia pendidikan sebagai penyebab terpuruknya bangsa ini. Namun, mau tidak mau melalui pendidikanlah peradaban sebuah masyarakat atau bangsa terbentuk.

Hakekat Pendidikan Karakter


Istilah karakter berhubungan erat dengan perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Istilah karakter selalu mengacu dengan perbuatan˗ perbuatan baik seperti berperilaku sopan, menghargai sesama, jujur, dan suka menolong. Berbeda halnya dengan seseorang yang berperilaku licik, tidak jujur, kejam, suka mengadu domba dan rakus, perbuatan-perbuatan seperti ini tidaklah disebut berkarakter tetapi perbuatan seperti ini disebut perilaku buruk. Sehingga seseorang akan disebut berkarakter jika tingkah laku dan perbuatannya sesuai dengan nilai/norma yang tertuang dalam masyarakat.

Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33, staff.uny.ac.id).

Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi (www.kopertis3.or.id). Apa yang dikatakan Imam Ghozali tersebut merupakan karakter yang telah mengakar dalam diri seseorang. Dimana nilai-nilai yang sebelumnya menjadi acuan telah dipahami dengan benar dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Karakter bersumber dari nilai-nilai luhur yang secara moral membentuk pribadi seseorang dan tercermin dalam perilaku.

Pendidikan sebagai sarana untuk menanamkan karakter dalam diri peserta didik, yang berarti pendidikan tidak hanya merupakan transfer of knowledge (tranferisasi ilmu pengetahuan) saja akan tetapi juga merupakan transfer of value (transferisasi nilai). Pendidikan harus memenuhi tiga ranah yaitu, (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Dengan demikian diharapkan pendidikan dapat mencetak ilmuan-ilmuan berkarakter atau berjiwa profetik (agamis/berjiwa agama) yang memiliki sifat-sifat jujur, menghormati sesama, tidak egois dan sensitif, berani berkata benar, memiliki kemandirian, disiplin, setia kawan dan kasih sayang.

Budaya dan Prinsip-prinsip ajaran Samin


Prinsip-prinsip ajaran samin sebagai salah satu khasanah budaya nasional memberikan sumbangan yang nyata dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini tercermin dalam prinsip dasar beretika dan prinsip berkarakter yang selalu diugemi (dipegang teguh) dan diajarkan oleh komunitas samin turun-menurun. Prinsip-prinsip ajaran samin (Rosyid, 2009) tersebut dijabarkan sebagai berikut :
1. Prinsip dasar beretika
Prinsip dasar beretika berupa pantangan untuk tidak drengki (membuat fitnah), Srei (serakah), panastren (mudah tersinggung atau membenci sesama), dawen (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati/sirik), keinginan untuk memiliki barang yang dimiliki orang lain, nyiyo marang sepodo (berbuat nista terhadap sesama penghuni alam dan bejok reyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur (menyianyiakan orang lain tidak boleh, cacat seperti apapun asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara), dan berujar norak (saru, tidak sopan, dsb)
2. Pantangan berinteraksi berupa
Bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang; barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat dengan sumber kehidupannya, misal sayur-mayur ketika masih di ladang, jumput (mengambil barang) ;barang yang telah menjadi komoditas di pasar, misal beras, hewan piaraan, dan kebutuhan hidup lainnya. Nemu wa ora keno (menemukan barang menjadi pantangan
3. Prinsip berkarakter
Ajaran dasar berkarakter meliputi : kudu weruh te-e dewe (harus memahami barang yang dimilikinya dan tidak memanfaatkan milik orang lain, lugu (bila mengadakan perjanjian, transaksi, ataupun kesediaan dengan pihak lain jika sanggup mengatakan ya, jika tidak sanggup atau ragu mengatakan tidak. Jika ragu memberikan jawaban ya atau tidak, mereka berujar cubi mangkeh kinten˗kinten pripun, kulo dereng saget janji, mligi (taat aturan prinsip samin, dipegang erat sebagai bukti keseriusan dan ketaatan memegangi ajarannya. Diantara larangan adalah judi, pemicu menurunnya semangat kerja dan hubungan seks bebas karena bukan haknya. Rukun dengan istri, anak, orang tuanya, tetangga, dan dengan siapa saja untuk mewujudkannya, larangan beristri lebih dari satu.

Inilah nilai-nilai yang memiliki peran dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter. Nilai˗nilai yang diugemi oleh masyarakat samin yang juga merupakan inti budaya masyarakat Jawa ini seharusnya tetap dijadikan pegangan dalam kehidupan berbangsa. Akan tetapi nilai˗nilai yang baik ini semakin luntur dari kehidupan masyarakat tertelan oleh budaya modern yang ditransformasikan melalui perkembangan teknologi informasi. Akibatnya semakin sedikit kelompok masyarakat yang tetap memegang prinsip˗prinsip luhur yang besumber dari nilai˗nilai budaya. Disisi lain eksistensi mereka semakin terpinggirkan oleh masyarakat sekitar. Sulitnya lagi ketika kelompok masyarakat ini menolak semua bentuk kemajuan positif termasuk pendidikan, sehingga nilai˗nilai yang mereka pegangi hanya untuk komunitasnya saja serta tidak dapat membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas.

Oleh :
Rofiq Faudy Akbar, M.Pd
Dukuh Kliyoso Rt. IV, Rw. 6 Desa Karangrowo,
Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus
Kamis 8 September 2011

Mari Pelihara Negeri Ini

Sudah sekian puluh tahun negara kita memproklamirkan kemerdekaannya, sudah selama itu pula bangsa kita memulai kehidupan sebagai negara yang berdaulat membangun sebuah tata kehidupan yang gemah ripah loh jinawi. Sudah banyak kita rasakan dan kita lihat perubahan-perubahan pada negeri kita, pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana telah terlengkapi sedikit demi sedikit, akan tetapi sedikit demi sedikit pula kerusakan kita timbulkan akibat perubahan yang kita buat dengan tidak sama sekali memperhitungkan faktor keseimbangan ekosistem. Kerusakan-kerusakan yang kita timbulkan sedikit-demi sedikit akan terakumulasi dengan menimbulkan bencana yang besar bagi kehidupan umat manusia. Tengok sajalah mengenai permasalahan banjir yang tiap tahun kita alami di berbagai daerah, bukan saja kerugian material akan tetapi juga kerugian immaterial yang kita alami. Permasalahan banjir adalah bencana yang terjadi akibat komplektivitas kerusakan yang kita timbulkan mulai dari hulu DAS hingga hilir. Di daerah hulu pembukaan lahan yang sembrono, penebangan hutan besar-besaran dan mengganti hutan dengan perkebunan, atau menghilangkan tanaman yang memiliki perakaran kuat. Di daerah hillir menutup daerah-daerah yang berfungsi sebagai penyerapan air dengan bangunan-bangunan sehingga menghalangi infiltrasi air ke dalam tanah. Satu kerusakan saja yang kita timbulkan akan mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu, sebagi misal illegal logging, dengan illegal logging akan berakibat terjadinya longsor lahan, pemanasan global, banjir dan intrusi air laut ke daratan, terganggunya ekosistem dan lain sebagainya. Melihat hal tersebut maka sebagai generasi bangsa mulai dari sekarang marilah kita rubah paradigma dan pola pikir masyarakat kita dari pola pikir yang semau gue kepada pola pikir yang penuh tanggung jawab.