Minggu, 18 Oktober 2015

KURIKULUM KEWIRAUSAHAAN UNTUK MENDORONG KEMANDIRIAN BANGSA


           Kata “kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu kata kurikulum digunakan dalam bidang olah raga, yakni suatu alat yang membawa orang dari start sampai ke finish. Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan. Dalam kamus tersebut kurikulum diartikan dua macam, yaitu:
1.   Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
2.   Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.
Pengertian diatas menimbulkan paham bahwa dari sekian banyak kegiatan dalam proses pendidikan disekolah/perguruan tinggi, hanya sejumlah mata pelajaran (bidang studi) yang ditawarkan itulah yang disebut kurikulum. Kegiatan belajar, selain yang mempelajari mata-mata pelajaran itu, tidak termasuk kurikulum. Padahal, sebagaimana kita ketahui, kegiatan belajar tidak hanya kegiatan mempelajari mata pelajaran. Mempelajari mata pelajaran hanyalah salah satu kegiatan belajar di sekolah/perguruan tinggi.[1]
B. Othanel Smith, W.O Stanley dan J. Harlan Shore memandang kurikulum sebagai rangkaian pengalaman potensial yang dapat di berikan kepada anak supaya mereka dapat berpikir dan berbuat sesuatu dengan masyarakatnya.[2] J. Loyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary School Improvement (1937) berpendapat bahwa kurikulum mencakup metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan semua progam, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi, dan hal–hal struktural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.[3]
Kurikulum dalam konsep rekonstruksi sosial, pada hakikatnya bertujuan mengubah kelakuan individu, pengetahuan, sikap dan nilai-nilai serta keterampilannya. Bila pendidikan mampu mengubah individu, maka dapat pula mengubah masyarakat. Masyarakat dapat diubah, diperbaiki melalui perubahan individu. Sekolah dipandang sebagai “agent of change”. Pendidikan selalu menuju ke masa depan sekali pun menggunakan masa lampau dan masa kini.[4] Dalam konsep ini, kurikulum tidak hanya bertujuan memberikan pengetahuan kepada peserta didik akan tetapi juga bertujuan mengubah kelakuan individu, nilai-nilai serta sikap yang diyakini. Sebagai contoh, pada saat ini masyarakat memiliki keyakinan bahwa lulusan-lulusan perguruan tinggi adalah mereka yang siap menerima pekerjaan mapan sesuai dengan kualifikasi pendidikan mereka. Jika masyarakat berpandangan bahwa lulusan perguruan tinggi pasti mendapatkan pekerjaan mapan sesuai kualifikasi pendidikan mereka maka, akan mengakibatkan tingginya residu angkatan kerja berupa pengangguran terdidik. Hal ini dikarenakan jumlah lulusan perguruan tinggi yang setiap tahun semakin meningkat, tidak sebanding dengan peningkatan ketersediaan kesempatan kerja yang akan menampung mereka.
Pemerintah selalu berusaha memenuhi kebutuhan akan lapangan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi dengan membuka pendaftaran CPNS. Akan tetapi jumlah lapangan pekerjaan yang dibuka belum dapat menampung sebagian besar tenaga kerja yang ada. Keterbatasan terserapnya lulusan perguruan tinggi di sektor pemerintah menyebabkan perhatian beralih pada peluang bekerja di sektor swasta. Namun beratnya persyaratan yang ditetapkan membuat peluang untuk bekerja di sektor swasta juga semakin terbatas. Sekretariat Negara RI (2010), menggambarkan pengangguran berpendidikan tinggi, baik diploma maupun sarjana, selama periode 2004-2009 bertambah 529.662 jiwa, yaitu dari 585.358 jiwa pada tahun 2004 menjadi 1.115.020 jiwa pada tahun 2009. Jika diratakan, maka setiap tahun pengangguran berpendidikan tinggi bertambah hampir 106.000 jiwa. Pada tahun 2008 sebanyak 23,80% (persen) pengangguran adalah mereka yang memiliki ijazah pendidikan tinggi (diploma/sarjana). Angka tersebut naik menjadi 26,74% (persen) pada tahun 2009.
Kurikulum pembelajaran entrepreneur/kewirausahaan di perguruan tinggi merupakan salah satu langkah yang dapat diambil untuk menekan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran yang berstatus sarjana. Meskipun pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi secara umum ditujukan agar mahasiswa mampu menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada di  sekitarnya dan tidak semata-mata ditujukan agar mahasiswa setelah lulus nantinya dapat membuka usaha baru, namun dengan bekal pembelajaran kewirausahaan setidaknya mereka telah memiliki bekal wawasan berwirausaha yang dapat dimanfaatkan ketika mereka tidak terserap pada lapangan kerja. Bahkan dengan mendirikan usaha baru, justru dapat membantu menekan meningkatnya angka pengangguran dengan merekrut angkatan kerja yang belum terserap pada lapangan kerja yang telah ada. Saat ini, belum keseluruhan perguruan tinggi menerapkan mata kuliah entrepreneur/kewirausahaan, begitu pula di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam. Dengan banyaknya jumlah mahasiswa yang diluluskan setiap tahunnya, pemberian mata kuliah entrepreneurship/ kewirausahaan sangat dibutuhkan oleh mahasiswa untuk memberikan motivasi dalam menciptakan atau mengembangkan bisnis secara mandiri.
Kewirausahaan  (entrepreneurship)  berasal  dari  bahasa  Perancis,  yakni entreprendre yang berarti melakukan (to undertake) dalam artian bahwa wirausahawan adalah seorang yang melakukan kegiatan mengorganisir dan mengatur. Istilah ini muncul di saat para pemilik modal dan para pelaku ekonomi di Eropa sedang berjuang keras menemukan berbagai usaha baru, baik sistem produksi baru, pasar baru, maupun sumber daya baru untuk mengatasi kejenuhan berbagai usaha yang telah ada. Arti  kata  kewirausahaan  berbeda-beda  menurut para ahli atau sumber acuan, karena adanya perbedaan penekanan. Richard Cantillon (1725), mendefinisikan kewirausahaan sebagai orang-orang yang menghadapi resiko yang berbeda dengan mereka yang menyediakan modal. Jadi definisi Cantillon lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi risiko atau ketidakpastian. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Blaudeu (1797), bahwa kewirausahaan adalah orang-orang yang menghadapi resiko. Demikian halnya Albert Shapero (1975) mendefenisikan sebagai pengambilan inisiatif, mengorganisir suatu mekanisme sosial ekonomi dan menghadapi resiko kegagalan.[5]
Melalui kurikulum kewirausahaan diharapkan dapat mengubah pola atau pandangan bahwa lulusan perguruan tinggi tidak selalu dapat langsung mendapatkan pekerjaan yang mapan sesuai dengan spesifikasi pendidikan, akan tetapi perguruan tinggi dapat memberikan bekal untuk langsung mendapatkan pekerjaan yang mapan sesuai bidang keahlian maupun memberikan bekal untuk menciptakan usaha secara mandiri. Pola kemandirian para lulusan perguruan tinggi secara makro diharapkan akan dapat mendorong kemandirian bangsa. Secara logika, ketika para lulusan perguruan tinggi berhasil membuka usaha secara mandiri dan bahkan menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan yang baru maka hal ini akan dapat menyerap sebagian besar tenaga kerja yang ada. Jumlah wirausaha dalam suatu negara dapat mendorong kemajuan suatu bangsa. Sebagaimana disebutkan oleh David McClelland[6], bahwa sebuah negara baru bisa maju jika memiliki jumlah wirausaha sebesar 2% dari populasi penduduknya. Indonesia pada tahun 2013, diperkirakan memiliki jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa membutuhkan sedikitnya 5 juta jiwa wirausaha. Namun jumlah wirausaha yang terdata hingga akhir tahun 2011 baru mencapai sekitar 400 ribu jiwa atau sangat jauh dari 1% populasi penduduk Indonesia. Jika kita lihat beberapa negara maju semisal Amerika Serikat, memiliki wirausaha sebanyak 11,5% dari populasi penduduknya. Sedangkan negara tetangga Singapura terdapat sekitar 7,2% warganya bekerja sebagai wirausaha, sehingga menjadikan negara kecil itu jauh lebih maju dari negara kita. Untuk menciptakan minimal 2% wirausaha di Indonesia, menurut Rusli M. Rukka paling tidak dibutuhkan waktu sedikitnya 25 tahun.
Kebutuhan akan wirausaha baru untuk memposisikan Indonesia sebagai negara maju diperlukan estimasi waktu yang cukup lama dalam mencapainya, untuk itu perlu segera diupayakan langkah-langkah strategis agar jumlah wirausaha baru dapat bertambah dengan waktu pencapaian yang relatif lebih singkat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan wirausaha baru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi dianggap telah memiliki wawasan keilmuan yang cukup untuk menjadi calon-calon pengusaha besar di masa depan. Akan tetapi fakta yang dijumpai di lapangan, jarang sekali ditemukan seseorang sarjana yang mau mengawali kehidupan setelah lulus dari perguruan tinggi dengan memulai mendirikan usaha. Kurikulum kewirausahaan diharapkan dapat mendorong minat dan kemandirian para lulusan perguruan tinggi untuk membuka usaha secara mandiri dan tidak semata-mata menggantungkan diri pada lapangan pekerjaan yang ada.

Rofiq Faudy Akbar

[1] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam. AMZAH. Jakarta: 2010. Hlm 162-163
[2] MohYamin.ManajemenMutuKurikulumPendidikan. DIVA Pers. Jogjakarta. 2009: hal 22
[3]MohYamin.ManajemenMutuKurikulumPendidikan. DIVA Pers. Jogjakarta. 2009 Hal: 23
[4] Nasution. PengembanganKurikulum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1993. Hal: 23
[5] Rusli Mohammad Rukka, 2011. Buku Ajar Kewirausahaan-1. Makasar : Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Universitas Hasanuddin
[6] Idem

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA RESISTENSI PERUBAHAN (POSITIF DAN NEGATIF)

Resistensi atau penolakan merupakan salah satu penyebab kurang berhasilnya perubahan yang direncanakan dalam organisasi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Maurer, bahwa "perlawanan membunuh perubahan", sementara Foote menggambarkan warna-warni resistensi sebagai "salah satu hal yang paling jahat, kanker kerja yang paling melemahkan (dan mengklaim bahwa) tidak ada seorang pembunuh yang lebih kuat, paradoks atau peluang yang sama yakni  kemauan untuk maju dan niat baik". Perubahan adalah hal sangat dibutuhkan dalam suatu organisasi untuk menyesuaikan dengan paradigma yang berkembang di tengah masyarakat. Pola pikir dan tingkat kepuasan masyarakat akan senantiasa berkembang, untuk itu sebuah organisasi yang berdiri di tengah-tengah masyarakat harus mengikuti perkembangan kebutuhan konsumen. Mind-set ataupun paradigma tentang perubahan seringkali lebih terapresiasi  ketika masih dalam tahap formulasi strategi, dan ketika ide itu diadopsi kemudian diimplementasikan, resistensi pun muncul bahkan meskipun ketika perubahan tersebut baru saja diusulkan.

Palmer dalam bukunya “Managing Organizational Change”, mengemukakan sejumlah faktor/alasan yang sering berkaitan dengan timbulnya resistensi/penolakan terhadap perubahan yang direncanakan dalam suatu organisasi. Resistensi atau penolakan sering berkaitan dengan  :

1.      Ketidaksukaan terhadap perubahan

Hal ini terdengar sangat umum dikatakan, bahwa hambatan utama yang dihadapi manajer dalam memperkenalkan perubahan adalah ketidaksukaan terhadap perubahan dan adanya penolakan. Orang yang mempunyai karakter menolak perubahan, dikategorikan sebagai ciri kepribadian yang stabil, cenderung untuk secara sukarela memasukkan perubahan dalam hidup mereka, dan ketika perubahan dikenakan pada mereka, mereka mungkin lebih mengalami reaksi emosional negatif seperti kecemasan, kemarahan dan ketakutan. Namun, bagi sebagian besar orang, hal tersebut adalah faktor-faktor kontekstual, yaitu karakteristik spesifik dari perubahan tertentu, yang menentukan bagaimana mereka bereaksi.
2.      Ketidaknyamanan pada ketidakpastian
Sebagai individu, manusia cenderung bervariasi dalam hal ukuran kenyamanan. Sebagai contoh, sebagian dari kita merasa nyaman atau setidaknya tidak terlalu terganggu oleh "mystery flights /penerbangan misteri" di mana tujuan tidak diketahui. Namun, bagi sebagian yang lain merasa tidak nyaman dalam situasi tersebut, dan cenderung menjadi resistor/penolak mengikuti penerbangan tersebut terkecuali ada rincian signifikan dari perjalanan dan tujuan yang jelas. Bagi sebagian orang, perubahan dalam organisasi merupakan ketidakpastian yang memperbesar kurangnya keyakinan bahwa mereka memiliki keterampilan/kemampuan yang dibutuhkan dalam situasi pasca-perubahan.
3.      Efek persepsi negatif pada perubahan 
Kesiapan untuk menerima perubahan juga akan dipengaruhi oleh persepsi anggota tentang efek perubahan pada "kepentingan" masing-masing individu yang dapat mencakup berbagai faktor termasuk kewenangan, status, penghargaan (termasuk gaji) mereka, kesempatan untuk menerapkan keahlian, keanggotaan jaringan pertemanan, otonomi, dan keamanan. Orang merasa lebih mudah untuk mendukung perubahan yang mereka lihat sebagai sesuatu yang tidak mengancam kepentingan tersebut dan mungkin menolak orang-orang yang dipandang sebagai perusak kepentingan-kepentingan ini.
4.      Budaya/identitas organisasi
Kesiapan untuk perubahan dapat secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat keterikatan budaya yang ada. Reger et al. berpendapat bahwa anggota organisasi menafsirkan usulan perubahan dari manajemen melalui model mental yang ada. Dalam hal ini, model mental yang sangat kuat adalah serangkaian kepercayaan anggota yang menjadi budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan ketika menerapkan perubahan mendasar karena budaya organisasi merupakan bentuk pemahaman anggota terhadap organisasi mereka. Pemahaman terhadap organisasi dapat menjadi lawan perubahan karena budaya telah menjadi model mental anggota yang tertanam dalam asumsi paling dasar tentang karakter organisasi.
5.      Persepsi pelanggaran kontrak secara psikologis
Sebuah pelanggaran kontrak terjadi ketika karyawan percaya bahwa manajer tidak lagi menghormati mereka sebagai bagian dari organisasi. Dalam hal ini, Strebel berpendapat bahwa interaksi karyawan dan organisasi tempat mereka bekerja dapat didefinisikan sebagai "kekompakan". Kekompakan tersebut mungkin eksplisit atau implisit (atau campuran keduanya) dan melibatkan tiga dimensi: formal, psikologis, dan sosial. Dimensi formal berkaitan dengan tugas tertentu seseorang, bagaimana hubungannya dengan tugas-tugas yang dilakukan oleh orang lain dalam organisasi, bagaimana kinerja dinilai, dan tingkat terkait remunerasi. Psikologis, merupakan dimensi yang sebagian besar tidak tertulis, akan tetapi berhubungan dengan harapan, kepercayaan, kesetiaan, dan pengakuan. Dimensi sosial mengacu pada nilai-nilai yang dianut organisasi. Menurut Strebel, di mana terjadi konflik antara perubahan dengan salah satu dimensi kekompakan, maka dimungkinkan akan terjadi resistensi terhadap perubahan.
6.      Kurangnya keyakinan bahwa perubahan diperlukan
Perubahan hanya akan didukung jika ada keyakinan bahwa perubahan tersebut diperlukan dalam organisasi. Namun, apa yang tampak jelas dengan jargon "Kita harus berubah!", tidak sepenuhnya difahami oleh orang lain. Mereka mempertanyakan "Apa masalahnya?". Ada banyak alasan yang dapat menjelaskan kepuasan, termasuk track record keberhasilan dan tidak adanya krisis yang terlihat. Orang-orang cenderung bereaksi negatif untuk berubah ketika mereka merasa bahwa tidak ada kebutuhan untuk perubahan.
7.      Kurangnya kejelasan mengenai apa yang diharapkan
Perubahan kadang diusulkan, terutama yang bersifat strategis, akan tetapi kadang tidak dilengkapi dengan informasi yang jelas mengenai implikasi tertentu pada tingkat tindakan individu. Ketika hal ini terjadi, dapat dimungkinkan karyawan akan gagal dalam mengkonversi inisiatif perubahan untuk mendukung aksi di tingkat organisasi. Titik kuncinya adalah, bahwa kurangnya dukungan bukan karena antagonisme terhadap perubahan yang diajukan; akan tetapi karena kurangnya pemahaman yang jelas tentang tindakan apa yang mendukung perubahan.
8.      Kepercayaan bahwa perubahan spesifik menjadi usulan yang tidak pantas
Pada anggota organisasi dampak perubahan yang diusulkan kemungkinan membentuk beberapa pandangan antara lain ; bahwa itu adalah ide yang baik "Kami harus melakukan sesuatu seperti ini", atau ide yang buruk "ide gila siapa ini?" Atau "Ini iseng-iseng". Pada gilirannya, pandangan ini kemungkinan akan mempengaruhi kesiapan mereka untuk perubahan. Sebagai seorang perancang perubahan, sangat mudah untuk melihat orang-orang yang mendukung perubahan maupun yang tidak mendukung perubahan. Dalam hal ini, tidak selalu bagi mereka yang tidak mendukung untuk diberikan sebutan sebagai "penolak perubahan." Sebutan ini tidak selalu tepat, jika penolakan terhadap perubahan tersebut bukan secara umum tetapi untuk perubahan tertentu yang lebih spesifik.
Pada kondisi seperti ini, layak dipertimbangkan bahwa dalam beberapa kasus, "resistor" mungkin benar mengenai asumsi perubahan yang diusulkan mungkin bukanlah ide yang bagus. Artinya, kadang-kadang "suara perlawanan menjaga manajer dari mengambil tindakan/keputusan yang tidak tepat." Perubahan juga dapat dilihat sebagai hal yang tidak perlu jika terdapat perbedaan mendasar dengan "visi." Strategi adalah cara untuk mencapai tujuan/visi organisasi. Dalam lingkungan organisasi sangat dimungkinkan terjadi perbedaan pandangan mengenai strategi yang tepat dalam mewujudkan visi organisasi.
9.      Kepercayaan bahwa waktunya salah
10.  Perubahan yang berlebihan
11.  Efek kumulatif dari perubahan lain dalam kehidupan seseorang
12.  Dirasakan berbenturan dengan etika
13.  Perbedaan persepsi mengenai cara melakukan perubahan
Organisasi yang hidup adalah organisasi yang penuh dinamika dan perubahan. Organisasi yang hidup tidak selalu berjalan dengan mulus akan tetapi penuh dinamika yang pada akhirnya akan memacu perubahan dan pertumbuhan organisasi menjadi lebih baik dan lebih mapan dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan dan ketidakpastian. Resistensi hampir tidak pernah absen ketika suatu organisasi mulai menerapkan sesuatu yang baru, entah itu strategi baru, proses baru ataupun sistem yang baru sebagai antisipasi terhadap perubahan-perubahan eksternal. Penerapan strategi baru, proses baru ataupun sistem baru untuk mengantisipasi perubahan tersebut memang identik pula dengan perubahan-perubahan internal. Begitupun ketika suatu organisasi mencanangkan suatu visi yang baru, banyak perubahan yang harus menyertainya.
Resistensi terhadap perubahan adalah "trimatra/tiga dimensi," yang melibatkan komponen afektif, perilaku, dan kognitif. Komponen afektif adalah bagaimana seseorang merasakan adanya perubahan (misalnya, marah), komponen kognitif adalah bagaimana seseorang berpikir tentang perubahan, dan komponen perilaku adalah apa yang dilakukan seseorang dalam wajah perubahan. Respon perilaku bermacam-macam bentuknya, Hultman menggambarkan perbedaan antara respon aktif dan pasif dan mengidentifikasi berbagai "gejala" yang masing-masing saling terkait. Gejala perlawanan aktif diidentifikasi sebagai sikap kritis, menemukan kesalahan, mengejek, membuat rasa takut, menggunakan fakta-fakta secara selektif, menyalahkan atau menuduh, sabotase, mengintimidasi atau mengancam, memanipulasi, mendistorsi fakta, memblokir, merusak, membuat rumor, dan berdebat. Sedangkan gejala-gejala yang diidentifikasi sebagai penolakan pasif seperti : setuju secara lisan tetapi tidak diikuti denggan perbuatan (pemenuhan ketaatan), gagal untuk melaksanakan perubahan; menunda-nunda atau mengganggu kerja seseorang, pura-pura tidak tahu, pemotongan informasi, saran, bantuan, atau dukungan, mewakili, dan membiarkan perubahan gagal.
Secara umum perubahan bertujuan agar suatu organisasi dapat berkembang menjadi lebih baik. sebagian besar resistensi terhadap perubahan berdampak pada terkendalanya perubahan yang diinginkan dan menghambat kemajuan organisasi. Akan tetapi penolakan/resistensi terhadap perubahan tidak selamanya berdampak negatif. Hal ini dikarenakan kadangkala kebijakan mengenai perubahan yang diusulkan oleh seorang manajer bukanlah perubahan yang diperlukan oleh organisasi tersebut, mengingat sebelum perubahan diusulkan organisasi dapat berjalan dengan baik. Penerapan perubahan kadang juga dianggap belum tepat waktu/timing-nya oleh anggota organisasi. Hal ini terjadi ketika seorang manajer memiliki keinginan untuk mewujudkan obsesinya tanpa melihat kondisi organisasi. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan bahwa dalam beberapa kasus, "resistor" mungkin benar sebab asumsi perubahan yang diusulkan mungkin bukanlah ide yang bagus. Artinya, kadang-kadang "suara perlawanan menjaga manajer dari mengambil tindakan/keputusan yang tidak tepat." Perubahan juga dapat dilihat sebagai hal yang tidak perlu jika terdapat perbedaan mendasar dengan "visi."
Penolak perubahan tidak selamanya diberikan stigma negatif. Resistensi/penolakan dapat bersifat positif terlebih ketika penolakan tersebut dapat berfungsi sebagai kontrol kebijakan, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang manajer tidak salah dan justru berdampak negatif bagi organisasi.

Rofiq Faudy Akbar




Palmer, Ian, et all. 2009. Managing Organizational Change, “A Multiple Perspectives Approach”. Second Edition. New York : The McGraw-Hill Companies.
 

Mari Pelihara Negeri Ini

Sudah sekian puluh tahun negara kita memproklamirkan kemerdekaannya, sudah selama itu pula bangsa kita memulai kehidupan sebagai negara yang berdaulat membangun sebuah tata kehidupan yang gemah ripah loh jinawi. Sudah banyak kita rasakan dan kita lihat perubahan-perubahan pada negeri kita, pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana telah terlengkapi sedikit demi sedikit, akan tetapi sedikit demi sedikit pula kerusakan kita timbulkan akibat perubahan yang kita buat dengan tidak sama sekali memperhitungkan faktor keseimbangan ekosistem. Kerusakan-kerusakan yang kita timbulkan sedikit-demi sedikit akan terakumulasi dengan menimbulkan bencana yang besar bagi kehidupan umat manusia. Tengok sajalah mengenai permasalahan banjir yang tiap tahun kita alami di berbagai daerah, bukan saja kerugian material akan tetapi juga kerugian immaterial yang kita alami. Permasalahan banjir adalah bencana yang terjadi akibat komplektivitas kerusakan yang kita timbulkan mulai dari hulu DAS hingga hilir. Di daerah hulu pembukaan lahan yang sembrono, penebangan hutan besar-besaran dan mengganti hutan dengan perkebunan, atau menghilangkan tanaman yang memiliki perakaran kuat. Di daerah hillir menutup daerah-daerah yang berfungsi sebagai penyerapan air dengan bangunan-bangunan sehingga menghalangi infiltrasi air ke dalam tanah. Satu kerusakan saja yang kita timbulkan akan mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu, sebagi misal illegal logging, dengan illegal logging akan berakibat terjadinya longsor lahan, pemanasan global, banjir dan intrusi air laut ke daratan, terganggunya ekosistem dan lain sebagainya. Melihat hal tersebut maka sebagai generasi bangsa mulai dari sekarang marilah kita rubah paradigma dan pola pikir masyarakat kita dari pola pikir yang semau gue kepada pola pikir yang penuh tanggung jawab.