Resistensi atau penolakan merupakan salah satu penyebab kurang berhasilnya perubahan yang direncanakan dalam organisasi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Maurer, bahwa "perlawanan membunuh perubahan", sementara Foote menggambarkan warna-warni resistensi sebagai
"salah satu hal yang paling jahat, kanker kerja
yang paling melemahkan (dan mengklaim bahwa) tidak ada seorang pembunuh yang lebih kuat, paradoks atau peluang yang sama yakni kemauan
untuk maju dan niat baik". Perubahan adalah hal sangat dibutuhkan dalam suatu organisasi
untuk menyesuaikan dengan paradigma yang berkembang di tengah masyarakat. Pola
pikir dan tingkat kepuasan masyarakat akan senantiasa berkembang, untuk itu
sebuah organisasi yang berdiri di tengah-tengah masyarakat harus mengikuti
perkembangan kebutuhan konsumen.
Mind-set ataupun paradigma tentang perubahan seringkali lebih terapresiasi
ketika masih dalam tahap formulasi strategi, dan ketika ide itu diadopsi kemudian
diimplementasikan, resistensi pun muncul bahkan meskipun ketika perubahan
tersebut baru saja diusulkan.
Palmer dalam bukunya “Managing
Organizational Change”, mengemukakan sejumlah faktor/alasan yang sering
berkaitan dengan timbulnya resistensi/penolakan terhadap perubahan yang
direncanakan dalam suatu organisasi. Resistensi atau penolakan sering berkaitan
dengan :
1.
Ketidaksukaan terhadap perubahan
Hal ini
terdengar sangat umum dikatakan, bahwa
hambatan utama yang dihadapi manajer dalam memperkenalkan perubahan adalah ketidaksukaan terhadap
perubahan dan adanya penolakan. Orang yang
mempunyai karakter menolak perubahan, dikategorikan
sebagai ciri kepribadian yang
stabil, cenderung untuk secara
sukarela memasukkan perubahan
dalam hidup mereka, dan ketika perubahan dikenakan pada mereka, mereka mungkin lebih mengalami reaksi emosional negatif seperti kecemasan, kemarahan dan ketakutan. Namun, bagi sebagian besar orang, hal tersebut adalah faktor-faktor kontekstual, yaitu karakteristik spesifik dari perubahan tertentu, yang menentukan bagaimana mereka bereaksi.
2.
Ketidaknyamanan pada ketidakpastian
Sebagai individu, manusia cenderung bervariasi dalam hal ukuran kenyamanan. Sebagai
contoh, sebagian dari kita merasa
nyaman atau setidaknya tidak terlalu terganggu
oleh "mystery flights /penerbangan misteri" di mana
tujuan tidak diketahui. Namun, bagi
sebagian yang lain merasa tidak nyaman dalam situasi tersebut, dan
cenderung menjadi resistor/penolak mengikuti penerbangan tersebut terkecuali ada rincian signifikan dari perjalanan dan tujuan yang jelas. Bagi
sebagian orang, perubahan dalam
organisasi merupakan ketidakpastian yang
memperbesar kurangnya keyakinan bahwa mereka
memiliki keterampilan/kemampuan yang
dibutuhkan dalam situasi pasca-perubahan.
3.
Efek persepsi negatif pada perubahan
Kesiapan untuk menerima perubahan
juga akan dipengaruhi oleh persepsi anggota tentang efek perubahan pada
"kepentingan"
masing-masing individu yang dapat mencakup berbagai faktor termasuk kewenangan, status, penghargaan (termasuk
gaji) mereka, kesempatan
untuk menerapkan keahlian, keanggotaan
jaringan pertemanan, otonomi, dan keamanan. Orang
merasa lebih mudah untuk mendukung
perubahan yang mereka lihat sebagai
sesuatu yang tidak mengancam kepentingan tersebut dan mungkin menolak orang-orang yang dipandang sebagai perusak kepentingan-kepentingan ini.
4.
Budaya/identitas organisasi
Kesiapan untuk perubahan dapat secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat keterikatan budaya yang ada. Reger et al. berpendapat bahwa anggota organisasi menafsirkan usulan
perubahan dari manajemen melalui model mental yang ada. Dalam
hal ini, model mental yang sangat
kuat adalah serangkaian
kepercayaan anggota yang menjadi budaya organisasi. Budaya
organisasi merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan ketika menerapkan
perubahan mendasar karena budaya organisasi merupakan bentuk pemahaman anggota terhadap organisasi mereka. Pemahaman terhadap organisasi dapat menjadi lawan perubahan karena budaya telah menjadi model mental anggota yang tertanam dalam asumsi paling dasar tentang karakter organisasi.
5.
Persepsi pelanggaran kontrak secara psikologis
Sebuah pelanggaran kontrak terjadi
ketika karyawan percaya bahwa
manajer tidak lagi menghormati mereka sebagai
bagian dari organisasi. Dalam hal ini, Strebel berpendapat
bahwa interaksi karyawan dan organisasi tempat mereka bekerja dapat didefinisikan sebagai "kekompakan". Kekompakan tersebut mungkin eksplisit atau implisit
(atau campuran keduanya) dan melibatkan tiga dimensi:
formal, psikologis, dan sosial. Dimensi formal berkaitan
dengan tugas tertentu seseorang, bagaimana hubungannya dengan
tugas-tugas yang dilakukan oleh orang lain dalam organisasi, bagaimana kinerja dinilai, dan tingkat terkait remunerasi.
Psikologis,
merupakan dimensi yang sebagian besar tidak tertulis, akan tetapi berhubungan dengan harapan, kepercayaan, kesetiaan, dan
pengakuan. Dimensi sosial mengacu
pada nilai-nilai yang dianut
organisasi. Menurut Strebel, di mana terjadi konflik antara perubahan dengan salah satu dimensi kekompakan, maka dimungkinkan akan terjadi resistensi
terhadap perubahan.
6.
Kurangnya keyakinan bahwa perubahan diperlukan
Perubahan hanya
akan didukung jika ada keyakinan bahwa perubahan tersebut diperlukan dalam organisasi. Namun, apa yang tampak jelas dengan
jargon "Kita harus berubah!", tidak sepenuhnya difahami oleh orang lain. Mereka mempertanyakan "Apa masalahnya?". Ada banyak
alasan yang dapat menjelaskan kepuasan,
termasuk track record keberhasilan dan tidak adanya krisis yang terlihat. Orang-orang
cenderung bereaksi negatif untuk berubah ketika mereka merasa bahwa
tidak ada kebutuhan untuk perubahan.
7.
Kurangnya kejelasan mengenai apa yang diharapkan
Perubahan kadang diusulkan, terutama yang
bersifat strategis, akan tetapi
kadang tidak dilengkapi dengan informasi
yang jelas mengenai implikasi
tertentu pada tingkat tindakan individu. Ketika
hal ini terjadi, dapat dimungkinkan
karyawan akan gagal dalam mengkonversi inisiatif
perubahan untuk mendukung aksi di tingkat organisasi. Titik kuncinya
adalah, bahwa kurangnya dukungan
bukan karena antagonisme terhadap perubahan yang diajukan; akan tetapi karena kurangnya pemahaman yang jelas tentang tindakan apa yang
mendukung perubahan.
8.
Kepercayaan bahwa perubahan
spesifik menjadi usulan
yang tidak
pantas
Pada anggota
organisasi dampak perubahan yang
diusulkan kemungkinan membentuk
beberapa pandangan antara lain ; bahwa itu
adalah ide yang baik "Kami harus melakukan sesuatu seperti ini", atau
ide yang buruk "ide gila
siapa ini?" Atau "Ini iseng-iseng". Pada gilirannya, pandangan
ini kemungkinan akan mempengaruhi kesiapan mereka untuk perubahan. Sebagai seorang perancang perubahan, sangat mudah untuk melihat orang-orang yang mendukung perubahan maupun yang tidak mendukung perubahan.
Dalam hal ini, tidak selalu bagi mereka yang
tidak mendukung untuk diberikan sebutan sebagai "penolak perubahan." Sebutan
ini tidak selalu tepat, jika penolakan
terhadap perubahan tersebut bukan secara umum tetapi untuk perubahan tertentu yang lebih spesifik.
Pada kondisi seperti ini, layak dipertimbangkan
bahwa dalam beberapa kasus, "resistor" mungkin benar mengenai asumsi perubahan yang diusulkan mungkin
bukanlah ide yang bagus. Artinya, kadang-kadang
"suara perlawanan menjaga manajer dari mengambil tindakan/keputusan yang tidak tepat." Perubahan juga dapat dilihat sebagai hal yang tidak perlu jika terdapat
perbedaan mendasar dengan "visi." Strategi adalah
cara untuk mencapai tujuan/visi organisasi. Dalam lingkungan organisasi sangat dimungkinkan terjadi perbedaan
pandangan mengenai strategi yang tepat dalam mewujudkan visi
organisasi.
9.
Kepercayaan bahwa waktunya salah
10. Perubahan yang berlebihan
11. Efek kumulatif dari
perubahan lain dalam
kehidupan seseorang
12. Dirasakan berbenturan dengan etika
13. Perbedaan persepsi
mengenai cara melakukan perubahan
Organisasi yang hidup adalah organisasi yang penuh dinamika dan
perubahan. Organisasi yang hidup tidak selalu berjalan dengan mulus akan tetapi
penuh dinamika yang pada akhirnya akan memacu perubahan dan pertumbuhan
organisasi menjadi lebih baik dan lebih mapan dalam mengantisipasi berbagai
kemungkinan dan ketidakpastian. Resistensi hampir tidak pernah absen ketika suatu
organisasi mulai menerapkan sesuatu yang baru, entah itu strategi baru, proses
baru ataupun sistem yang baru sebagai antisipasi terhadap perubahan-perubahan eksternal.
Penerapan strategi baru, proses baru ataupun sistem baru untuk mengantisipasi
perubahan tersebut memang identik pula dengan perubahan-perubahan internal. Begitupun
ketika suatu organisasi mencanangkan suatu visi yang baru, banyak perubahan
yang harus menyertainya.
Resistensi terhadap perubahan adalah "trimatra/tiga dimensi," yang
melibatkan komponen afektif, perilaku,
dan kognitif. Komponen
afektif adalah bagaimana seseorang merasakan adanya perubahan (misalnya, marah), komponen
kognitif adalah bagaimana seseorang berpikir tentang perubahan, dan komponen
perilaku adalah apa yang dilakukan seseorang dalam wajah perubahan. Respon
perilaku bermacam-macam
bentuknya, Hultman menggambarkan perbedaan antara respon aktif dan pasif dan mengidentifikasi berbagai "gejala" yang masing-masing saling terkait. Gejala
perlawanan aktif diidentifikasi
sebagai sikap kritis, menemukan kesalahan, mengejek, membuat rasa takut, menggunakan
fakta-fakta secara selektif, menyalahkan atau menuduh,
sabotase, mengintimidasi atau mengancam, memanipulasi, mendistorsi fakta, memblokir,
merusak, membuat rumor,
dan berdebat. Sedangkan gejala-gejala yang diidentifikasi sebagai penolakan pasif seperti : setuju secara lisan tetapi
tidak diikuti denggan perbuatan (pemenuhan
ketaatan), gagal untuk melaksanakan
perubahan; menunda-nunda atau mengganggu kerja seseorang, pura-pura tidak tahu, pemotongan
informasi, saran, bantuan,
atau dukungan, mewakili, dan membiarkan perubahan gagal.
Secara umum perubahan bertujuan agar
suatu organisasi dapat berkembang menjadi lebih baik. sebagian besar resistensi
terhadap perubahan berdampak pada terkendalanya perubahan yang diinginkan dan
menghambat kemajuan organisasi. Akan tetapi penolakan/resistensi terhadap
perubahan tidak selamanya berdampak negatif. Hal ini dikarenakan kadangkala kebijakan
mengenai perubahan yang diusulkan oleh seorang manajer bukanlah perubahan yang
diperlukan oleh organisasi tersebut, mengingat sebelum perubahan diusulkan
organisasi dapat berjalan dengan baik. Penerapan perubahan kadang juga dianggap
belum tepat waktu/timing-nya oleh anggota organisasi. Hal ini terjadi
ketika seorang manajer memiliki keinginan untuk mewujudkan obsesinya tanpa
melihat kondisi organisasi. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan bahwa dalam beberapa kasus, "resistor" mungkin benar sebab asumsi perubahan yang diusulkan mungkin bukanlah ide yang bagus. Artinya, kadang-kadang
"suara perlawanan menjaga manajer dari mengambil tindakan/keputusan yang tidak tepat." Perubahan juga dapat dilihat sebagai hal yang tidak perlu
jika terdapat perbedaan mendasar dengan "visi."
Penolak perubahan tidak selamanya
diberikan stigma negatif. Resistensi/penolakan dapat bersifat positif terlebih
ketika penolakan tersebut dapat berfungsi sebagai kontrol kebijakan, agar
kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang manajer tidak salah dan justru
berdampak negatif bagi organisasi.
Rofiq
Faudy Akbar
Palmer,
Ian, et all. 2009. Managing Organizational Change, “A Multiple Perspectives
Approach”. Second Edition. New York : The McGraw-Hill Companies.