Kata “kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan
sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama
kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu kata kurikulum
digunakan dalam bidang olah raga, yakni suatu alat yang membawa orang dari start
sampai ke finish. Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai
dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan.
Dalam kamus tersebut kurikulum diartikan dua macam, yaitu:
1. Sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk
memperoleh ijazah tertentu.
2. Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan
oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.
Pengertian diatas menimbulkan paham bahwa dari
sekian banyak kegiatan dalam proses pendidikan disekolah/perguruan tinggi,
hanya sejumlah mata pelajaran (bidang studi) yang ditawarkan itulah yang
disebut kurikulum. Kegiatan belajar, selain yang mempelajari mata-mata
pelajaran itu, tidak termasuk kurikulum. Padahal, sebagaimana kita ketahui,
kegiatan belajar tidak hanya kegiatan mempelajari mata pelajaran. Mempelajari
mata pelajaran hanyalah salah satu kegiatan belajar di sekolah/perguruan tinggi.
B. Othanel Smith, W.O Stanley dan J. Harlan
Shore memandang kurikulum sebagai rangkaian pengalaman potensial yang dapat di berikan kepada anak supaya mereka dapat berpikir dan berbuat sesuatu dengan masyarakatnya.
J. Loyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary School Improvement (1937) berpendapat bahwa kurikulum mencakup metode
mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan semua progam, perubahan tenaga
mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi, dan hal–hal struktural
mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
Kurikulum dalam konsep rekonstruksi sosial, pada hakikatnya bertujuan mengubah kelakuan individu,
pengetahuan, sikap dan nilai-nilai serta keterampilannya. Bila pendidikan mampu mengubah individu,
maka dapat
pula mengubah masyarakat. Masyarakat dapat diubah,
diperbaiki melalui perubahan individu. Sekolah dipandang sebagai “agent of change”.
Pendidikan selalu menuju ke masa depan sekali pun menggunakan masa lampau dan masa kini. Dalam
konsep ini, kurikulum tidak hanya bertujuan memberikan pengetahuan kepada
peserta didik akan tetapi juga bertujuan mengubah kelakuan individu,
nilai-nilai serta sikap yang diyakini. Sebagai contoh, pada saat ini masyarakat
memiliki keyakinan bahwa lulusan-lulusan perguruan tinggi adalah
mereka yang siap menerima pekerjaan mapan sesuai dengan kualifikasi pendidikan
mereka. Jika masyarakat berpandangan bahwa lulusan perguruan tinggi pasti
mendapatkan pekerjaan mapan sesuai kualifikasi pendidikan mereka maka, akan mengakibatkan
tingginya residu angkatan kerja berupa pengangguran terdidik. Hal ini
dikarenakan jumlah lulusan perguruan tinggi yang setiap tahun semakin meningkat,
tidak sebanding dengan peningkatan ketersediaan kesempatan kerja yang akan
menampung mereka.
Pemerintah selalu berusaha memenuhi kebutuhan
akan lapangan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi dengan membuka pendaftaran
CPNS. Akan tetapi jumlah lapangan pekerjaan yang dibuka belum dapat menampung
sebagian besar tenaga kerja yang ada. Keterbatasan
terserapnya lulusan perguruan tinggi di sektor pemerintah menyebabkan
perhatian beralih pada peluang bekerja di sektor swasta. Namun beratnya persyaratan
yang ditetapkan membuat peluang untuk bekerja di sektor swasta juga
semakin terbatas. Sekretariat Negara RI
(2010), menggambarkan pengangguran berpendidikan tinggi, baik
diploma maupun sarjana, selama
periode 2004-2009 bertambah 529.662
jiwa, yaitu dari 585.358 jiwa pada tahun 2004
menjadi 1.115.020 jiwa pada tahun 2009. Jika diratakan, maka setiap tahun
pengangguran berpendidikan tinggi bertambah
hampir 106.000 jiwa. Pada tahun 2008 sebanyak 23,80% (persen) pengangguran adalah mereka yang memiliki ijazah
pendidikan tinggi (diploma/sarjana). Angka tersebut naik menjadi 26,74% (persen) pada tahun 2009.
Kurikulum
pembelajaran entrepreneur/kewirausahaan
di perguruan tinggi merupakan salah satu langkah yang dapat diambil untuk
menekan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran yang berstatus sarjana.
Meskipun pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi secara umum ditujukan
agar mahasiswa mampu menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang
ada di sekitarnya dan tidak semata-mata
ditujukan agar mahasiswa setelah lulus nantinya dapat membuka usaha baru, namun
dengan bekal pembelajaran kewirausahaan setidaknya mereka telah memiliki bekal
wawasan berwirausaha yang dapat dimanfaatkan ketika mereka tidak terserap pada
lapangan kerja. Bahkan dengan mendirikan usaha baru, justru dapat membantu menekan
meningkatnya angka pengangguran dengan merekrut angkatan kerja yang belum terserap
pada lapangan kerja yang telah ada. Saat ini, belum keseluruhan perguruan
tinggi menerapkan mata kuliah entrepreneur/kewirausahaan,
begitu pula di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam. Dengan banyaknya jumlah
mahasiswa yang diluluskan setiap tahunnya, pemberian mata kuliah entrepreneurship/ kewirausahaan sangat
dibutuhkan oleh mahasiswa untuk memberikan motivasi dalam menciptakan atau
mengembangkan bisnis secara mandiri.
Kewirausahaan (entrepreneurship) berasal
dari bahasa Perancis,
yakni entreprendre yang
berarti melakukan (to undertake)
dalam artian bahwa wirausahawan adalah seorang yang melakukan kegiatan
mengorganisir dan mengatur. Istilah ini muncul di saat para pemilik modal dan
para pelaku ekonomi di Eropa sedang berjuang keras menemukan berbagai usaha
baru, baik sistem produksi baru, pasar baru, maupun sumber daya baru untuk
mengatasi kejenuhan berbagai usaha yang telah ada. Arti kata
kewirausahaan berbeda-beda menurut para ahli atau sumber acuan, karena
adanya perbedaan penekanan. Richard Cantillon (1725), mendefinisikan
kewirausahaan sebagai orang-orang yang menghadapi resiko yang berbeda dengan
mereka yang menyediakan modal. Jadi definisi Cantillon lebih menekankan pada
bagaimana seseorang menghadapi risiko atau ketidakpastian. Pendapat yang sama
juga dikemukakan oleh Blaudeu (1797), bahwa kewirausahaan adalah orang-orang
yang menghadapi resiko. Demikian halnya Albert Shapero (1975) mendefenisikan
sebagai pengambilan inisiatif, mengorganisir suatu mekanisme sosial ekonomi dan
menghadapi resiko kegagalan.
Melalui
kurikulum kewirausahaan diharapkan dapat mengubah pola atau pandangan bahwa
lulusan perguruan tinggi tidak selalu dapat langsung mendapatkan pekerjaan yang
mapan sesuai dengan spesifikasi pendidikan, akan tetapi perguruan tinggi dapat
memberikan bekal untuk langsung mendapatkan pekerjaan yang mapan sesuai bidang
keahlian maupun memberikan bekal untuk menciptakan usaha secara mandiri. Pola
kemandirian para lulusan perguruan tinggi secara makro diharapkan akan dapat
mendorong kemandirian bangsa. Secara logika, ketika para lulusan perguruan
tinggi berhasil membuka usaha secara mandiri dan bahkan menciptakan
lapangan-lapangan pekerjaan yang baru maka hal ini akan dapat menyerap sebagian
besar tenaga kerja yang ada. Jumlah wirausaha dalam suatu negara dapat
mendorong kemajuan suatu bangsa. Sebagaimana disebutkan oleh David McClelland, bahwa sebuah negara baru bisa maju jika memiliki jumlah wirausaha sebesar 2% dari populasi penduduknya.
Indonesia pada tahun 2013, diperkirakan memiliki jumlah penduduk sekitar 250
juta jiwa membutuhkan sedikitnya 5
juta jiwa wirausaha. Namun jumlah wirausaha
yang
terdata hingga akhir tahun 2011 baru mencapai
sekitar 400 ribu jiwa atau sangat
jauh dari 1% populasi penduduk
Indonesia. Jika kita lihat beberapa negara maju semisal Amerika Serikat, memiliki wirausaha sebanyak 11,5% dari populasi penduduknya. Sedangkan negara tetangga Singapura
terdapat sekitar 7,2% warganya bekerja
sebagai wirausaha, sehingga
menjadikan negara kecil itu jauh lebih maju
dari negara kita. Untuk menciptakan minimal 2% wirausaha di Indonesia, menurut Rusli M. Rukka paling tidak dibutuhkan waktu sedikitnya 25 tahun.
Kebutuhan akan
wirausaha baru untuk memposisikan Indonesia
sebagai negara maju diperlukan estimasi waktu yang cukup lama dalam mencapainya, untuk itu perlu segera diupayakan langkah-langkah
strategis agar jumlah wirausaha baru dapat bertambah dengan waktu pencapaian yang relatif lebih singkat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan wirausaha baru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi dianggap
telah memiliki wawasan keilmuan yang cukup untuk menjadi calon-calon pengusaha
besar di masa depan. Akan tetapi fakta yang dijumpai di lapangan, jarang sekali
ditemukan seseorang sarjana yang mau mengawali kehidupan setelah lulus dari
perguruan tinggi dengan memulai mendirikan usaha. Kurikulum kewirausahaan
diharapkan dapat mendorong minat dan kemandirian para lulusan perguruan tinggi
untuk membuka usaha secara mandiri dan tidak semata-mata menggantungkan diri
pada lapangan pekerjaan yang ada.